A.
Pendahuluan
Wajah dunia
pendidikan nasional merupakan representasi dari kondisi yang kini melanda
bangsa ini. Realitas merebaknya tawuran, praktik asusila, dan tindak kriminal
yang dilakukan oleh pelajar adalah persoalan sosial yang terkait dengan
pendidikan. Bahkan
baru-baru ini disinyalir oleh berbagai kalangan bahwa pelajar mulai terseret
dalam tindak terorisme yang sangat memprihatinkan.Sekalipun
pendidikan bukan satu-satunya penyebab,tetapi sebagai salah satu instrument tentu
ini harus menjadi perhatian yang serius.
Adanya
beberapa anggapan yang mensinyalir bahwa faktor kondisi masyarakat yang multicultural
merupakan faktor pencetus terjadinya berbagai peristiwa di dunia pendidikan
berupa perilaku menyimpang yang cenderung terus meningkat dan meluas di
kalangan anak didik, terutama tawuran dan pertentangan antar kelompok atau
golongan perlu dicermati lebih dalam. Fakta Indonesia adalah negeri yang kaya
budaya dan masyarakatnya majemuk adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri.
Akan tetapi keberagaman suku, tradisi dan budaya, serta agama bukanlah penyebab
munculnya persoalan di atas.
Adanya
keberagaman seharusnya menjadikan negeri ini tetap kokoh bersatu dan tidak
mudah tercerai berai. Dilihat dari aspek persoalan pendidikan maka perlu
formula yang tepat dan mendasar sehingga persoalan keberagaman ini bukan
sebagai faktor penghambat tercapainya cita-cita dan tujuan pendidian di negari
ini. Adanya berbagai ragam perbedaan budaya,
karakter kedaerahan yang beragam, justru merupakan potensi yang berharga untuk
diproses dan dibentuk menjadi kekuatan yang akan melahirkan SDM unggul dengan latar
belakang keberagamannya. Lahirnya SDM unggul sebagai hasil dari suatu proses
pendidikan sebagaimana yang tercantum dalam UU no 20 tahun 2003 tentang
Sisdiknas yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertawa pada Tuhan YME, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif dan mandiri akan terwujud melalui suatu proses sistem
pendidikan terintegrasi antara iptek dan imtak.
B. Menelusuri masalah
Dalam konteks individu, pendidikan merupakan salah
satu kebutuhan dasar manusia. Dengan pendidikan yang memadai, seseorang akan memperoleh ilmu
pengetahuan yang akan menjadi penopang utama kehidupannya. Negara merupakan
institusi yang bertanggungjawab dalam mengurusi semua urusan warganya merupakan
pihak pertama yang bertanggung jawab dalam mewujudkan suatu sistem pendidikan
yang akan melahirkan generasi penerus kepemimpinan yang berkualitas. Hal ini juga karena konstitusi telah membebankan
kewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan nasional kepada
pemerintah. Sehingga tidaklah berlebihan jika dikatakan pihak yang paling
bertanggung jawab atas baik buruknya dunia pendidikan adalah negara atau pemerintah. Kita berharap, pemerintah beserta
struktur di bawahnya termasuk pihak institusi pendidikan bersungguh-sungguh
membenahi dan mengembangkan dunia pendidikan.
Contoh problema pendidikan yang bisa
dikritisi adalah mengenai anggaran untuk sektor pendidikan yang cukup besar,
yaitu 20 % dari total pengeluaran
pemerintah . Namun pada faktanya hal tersebut belum berimbas nyata terhadap peningkatan kualitas
dan mutu pendidikan di negeri ini. Tetap saja fasilitas dan sarana-sarana
penunjang kegiatan kependidikan masih kurang merata. Para guru pun sebagian
besar masih hidup di bawah kelayakan, meskipun ada upaya perbaikan dan
pemerataan melalui program BKG yang kemudian menjadi TFG dan yang terbaru
adanya program sertifikasi untuk tenaga kependidikan, namun pada pelaksanaannya
belum bisa dinikmati oleh semua guru yang sebenarnya mungkin sudah
memenuhi apa yang menjadi persyaratan. Padahal kepada mereka harapan perbaikan
pendidikan ditumpukan. Kenyataan itulah yang selanjutnya melahirkan anak-anak
bermasalah yang resultannya adalah rendahnya kualitas SDM dan kinerja bangsa
yang lemah.
Di sisi lain, mandulnya kurikulum
karena tidak berorientasi pada penumbuhan kemampuan berpikir peserta didik agar
secara kreatif menyiasati masa depannya, dan tidak terbentuknya karakter
kejiwaan yang unggul, mengarahkan pendidikan nasional pada kecenderungan
negatif. Sering bergantinya kurikulum yang dimaksudkan untuk perbaikan dan penyempurnaan kualitas
pendidikan pada realitasnya kadang tidak berimbas nyata terhadap peningkatan
mutu pendidikan kita.
C.
Pola Kebijakan yang Timpang
Adanya fakta berbagai perilaku menyimpang yang semakin meluas di kalangan
anak didik sepertinya semakin menjauhkan
harapan terwujudnya tujuan pendidikan nasional secara utuh, yakni ilmu
sekaligus akhlak. Saat ini pun mulai marak dibicarakan mengenai
pendidikan karakter. Wacana ini muncul dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menanggapai maraknya korupsi beserta perilaku negatif lain,
yang menunjukkan pelakunya tidak berkarakter baik.
Timbulnya berbagai persoalan tindak kriminal oleh pelajar pun juga
disinyalemen oleh pemerintahan sebagai akibat dari semakin berkurangnya
penanaman nilai-nilai karakter dan kepribadian bangsa dikalangan pelajar.
Maka saat ini ada upaya pemerintah
yang mencoba membuat solusi melalui penyempurnaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) 2006 dengan memasukan nilai
pendidikan dan karakter bangsa di setiap silabus mata pelajaran. Diharapkan
dari penyempurnaan itu akan dihasilkan output peserta didik yang sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional yang tertuang dalam UU No 20 tahun 2003 yaitu untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa pada Tuhan YME, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Diantara nilai- nilai yang ingin ditanamkan pada peserta didik dalam
pendidikan karakter adalah: religius , jujur, toleransi, disiplin, kerja
keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta
tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca,
peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab.
Kalau kita cermati, sebenarnya upaya memasukan nilai
karakter bangsa dalam KTSP 2006 merupakan hal yang hampir sama dengan kebijakan
memasukan komponen budi pekerti dalam penentuan kelulusan siswa. Hal ini bisa mengesankan
sebagai kebijakan tambal sulam yang dirumuskan tanpa disertai analisis dan
pemikiran mendalam. Dan itulah yang kerap dilakukan oleh Kemendiknas atau organ
di bawahnya dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang lebih bercorak
kasuistik. Bahkan seringkali kebijakan dikeluarkan tanpa kesiapan teknis yang
memadai, sehingga muncul kesenjangan dalam implementasinya di lapangan. Contoh
yang cukup terlihat adalah penentuan kebijakan kurikulum. Kasus pemberlakuan
KTSP 2006 sebagai revisi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) 2004, tidak begitu
saja dapat diterapkan secara mulus di sekolah. Artinya, KTSP yang dikonsepsikan
untuk memberi keleluasaan kepada para guru agar bisa mengemas dan mengembangkan
materi pembelajaran yang lebih berbobot, ternyata banyak guru tidak kuasa
mengimplementasikannya di lapangan karena berbagai faktor, seperti keterbatasan
sarana prasarana dan sosialisasi yang tidak merata, disamping itu kompetensi guru
menjadi faktor kendala utamanya. Pola perumusan kebijakan yang seperti
itu sudah tentu tidak mengarah kepada pencapaian perbaikan dan penyelesaian
masalah pendidikan dalam arti yang sebenarnya.
Memasukkan nilai pendidikan karakter sebagai penyempurnaan
KTSP 2006 merupakan suatu usaha yang patut dihargai dalam usaha terwujudnya
tujuan pendidikan nasional. Nilai-nilai yang ingin ditanamkan juga marupakan
berbagai nilai kebaikan yang akan berguna bagi peserta didik dalam kehidupannya,
tetapi lahirnya SDM unggul berkualitas sebagaimana yang diharapkan dalam tujuan
pendidikan nasional tidak cukup hanya dengan membenahi sekelumit komponen
kurikulum ini. Kejelasan visi dan
strategi dalam pengembangan pendidikan, penanganan arah kebijakan yang
konsisten oleh orang-orang yang ahli dalam pendidikan dan pendekatan yang tidak
sekuleristik dalam pengelolaan pendidikan merupakan hal mendasar yang harus
mendapat perhatian.
Indonesia bukan
negara agama, akan tetapi bangsa Indonesia dengan berbagai latar belakang
budaya dan adat istiadatnya adalah bangsa yang beragama. Sebagai bangsa yang
tidak lepas dari budaya yang dipengaruhi nilai-nilai agama yang dianut bangsa
ini, seharusnya nilai religius, moral dan akhlak adalah masalah yang mendapat
porsi yang lebih banyak dalam pengadopsian kurikulum pendidikan.
Implementasinya dalam penyusunan kurikulum adalah tidak sebatas mengandalkan
kurikulum berbasis kompetensi yang hanya menitikberatkan pencapaian nilai
kognitif dan psikomotorik akan tetapi diperkaya dengan kompentensi yang
berbasis nilai religius sebagai dasar
pembentuk karakter dan kepribadian bangsa. Nilai religius disini hendaknya
tidak hanya sebatas ketaatan peserta didik dalam menjalankan ibadah ritualnya
ataupun bertoleransi tapi lebih dari itu hal paling mendasar yang harus
ditanamkan pertama kali adalah kesadaran bahwa dia adalah mahluk yang diciptakan
oleh Sang Pencipta dan haruslah dalam setiap gerak langkah kehidupannya terikat
dengan nilai-nilai yang digariskan Sang Pencipta. Kesadaran yang mendalam
tentang hal tersebut akan menghasilkan peserta didik yang selalu berusaha untuk
mengimplementasikan seluruh nilai-nilai kebaikan dan berusaha menghindari
hal-hal negatif dengan penuh kesadaran.
D. Sekilas tentang Sistem Pendidikan Alternatif
Dalam usaha mewujudkan pendidikan nasional, tidak ada salahnya
jika kita melihat suatu sistem pendidikan alternatif yang bisa diadaptasi dalam
sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan ini merupakan sistem pendidikan Islam
yang terbukti dalam lintasan sejarah telah berhasil melahirkan para
pemikir-pemikir handal yang bisa menguasai berbagai
bidang ilmu pengetahuan dan pada saat yang sama mereka adalah manusia-manusia
dengan kualitas akhlak, budi pekerti dan karakter serta kepribadian yang
mengagumkan. Peradaban
yang dihasilkannya, belum tertandingi oleh bangsa mana pun sampai kini.
Tertulis dalam catatan sejarah nama-nama besar seperti Ibnu Sina, Ibnu Rush,
AL-Khawarizmi, Ibnu Firnas, Al- Razi dan masih banyak lagi. Mereka semua adalah
bukti nyata hasil suatu sistem pendidikan terintegrasi antara iptek dan imtak.
Dalam Islam, menuntut ilmu adalah suatu kewajiban dan diakui
sebagai salah satu kebutuhan pokok setiap manusia, sehingga Islam mewajibkan
Negara bertanggung jawab penuh dalam
penyelenggaraan pendidikan nasional, bahkan Negara harus memberikannya secara cuma-cuma
tanpa mengabaikan kualitas. Islam mewajibkan negara menyelenggarakan pendidikan atau
wajib belajar tanpa memungut biaya kepada seluruh rakyatnya,baik muslim ataupun
non muslim, dari jenjang pendidikan terendah (TK) hingga jenjang menengah atas
(SMU). Untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi, pemerintah harus memberi
kesempatan yang seluas-luasnya kepada siapa saja yang berminat dan punya
kecakapan intelektual, tidak menetapkan syarat-syarat yang menyulitkan, tanpa
biaya, dan tanpa membatasi usianya. Pemerintah harus menjadikan pendidikan
sebagai salah satu prioritas utama dengan menyediakan anggaran yang
secukup-cukupnya. Dalam hal ini termasuk memberikan insentif para guru sehingga
kesejahteraan hidup mereka benar-benar terjamin dan pembangunan sarana dan
prasarana, seperti lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai tinggi
dan perpustakaan-perpustakaan yang tersebar di berbagai tempat, merupakan hal
yang sangat diperhatikan.
Adapun berkenaan dengan kurikulum,
strategi, dan tujuan pendidikan, Islam menetapkan prinsip yang sederhana tapi
sangat tegas dan jelas. Kurikulum pendidikan harus berlandaskan aqidah
Islamiyah, karenanya seluruh materi pembelajaran atau bidang studi
serta metodologi penyampaiannya harus dirancang tanpa adanya penyimpangan dalam
proses pendidikan dari asas tersebut sedikit pun. Strategi pendidikan diarahkan
pada pembentukan dan pengembangan pola pikir dan pola jiwa Islami. Semua
disiplin ilmu disusun berdasarkan strategi ini. Membentuk kepribadian Islam dan
membekali individu dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan
kehidupan manusia merupakan tujuan asasi dari pendidikan. Adapun bagi warga
Negara yang bukan muslim mereka tetap diberikan kebebasasan dalam menganut
keyakinannya dengan tetap memiliki hak mendapatkan pelayanan yang sama dalam
memperoleh ilmu pengetahuan .
E.
Penutup
Berdasarkan pemaparan diatas, Ringkasnya
pendidikan karakter dan kepribadian dalam masyarakat multikultural perlu
perumusan yang berorientasi pada penumbuhan kemampuan berpikir peserta didik
agar memiliki karakter kejiwaan yang unggul sehingga siap menata masa depannya.
Hal ini bisa terwujud melalui suatu sistem pendidikan terintegrasi antara iptek
dan imtak.
Kejelasan visi dan strategi dalam pengembangan pendidikan,
penanganan arah kebijakan yang konsisten oleh orang-orang yang ahli dalam
pendidikan dan pendekatan yang tidak sekuleristik dalam pengelolaan pendidikan
diharapkan akan mampu mewujudkan peserta didik yang berkarakter unggul sebagaimana
yang diamanahkan dalam undang-undang. Orientasi itu
terkait dengan kebijakan penyusunan kurikulum, system rekruitmen tenaga
pendidik yang kompeten dibidang keilmuan dan moral, insentif yang layak untuk para guru,
fasilitas dan sarana-sarana penunjang kegiatan yang memadai.
sederhana
BalasHapus