loading...

ARTIKEL TENTANG BAGAIMANA SEHARUSNYA GURU MEMBERIKAN PEMAHAMAN DAN PEMAKNAAN KONSEP PEMBAGIAN KEPADA SISWA DI SEKOLAH DASAR


Name="List Table 6 Colorful Accent 2"/>
Pendahuluan
Membelajarkan matematika bagi siswa di sekolah dasar (SD) yang tingkat perkembangan berpikirnya masih belum formal, seorang guru idealnya menggunakan alat bantu  pembelajaran. Penggunaan alat bantu dalam pembelajaran matematika berfungsi  membantu  penanaman dan pemahaman konsep secara bermakna. Selain itu, alat bantu pembelajaran dapat juga berfungsi sebagai  jembatan bagi guru  untuk  mengilustrasikan suatu konsep dalam matematika yang bersifat abstrak agar lebih mudah untuk dipahami siswa. 

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap buku-buku matematika yang beredar di sekolah dasar, khusus untuk materi (konsep) pembagian dijumpai bahwa penggambaran ilutrasi terhadap konsep pembagian tersebut tidak sesuai dengan konsep pembagian yang menyatakan bahwa pembagian merupakan pengulangan berulang. Di samping itu, hampir seluruh soal cerita yang merupakan bentuk aplikasi dari konsep pembagian dimodelkan (diterjemahkan) secara salah. 

Sementara itu, melalui pengamatan yang dilakukan penulis terhadap proses pembelajaran matematika yang dilakukan guru di SD ditemukan bahwa pada umumnya guru juga kurang tepat dalam memaknai konsep pembagian. Hal tersebut dapat dilihat dari ilustrasi yang disajikan guru ketika mengenalkan konsep. Hampir semua guru tidak menyadari bahwa ilustrasi yang dibuatnya tersebut tidak selaras dengan makna dari konsep pembagian. Hasil pengamatan juga memperlihatkan bahwa sebagian besar guru dalam menjelaskan  konsep pembagian dilakukan secara abstrak dan tidak mempertimbangkan pola berpikir siswa yang masih dalam tahap berpikir konkrit. Guru juga lebih menekankan kepada cara mengerjakan suatu masalah dan tidak melakukan  penekanan kepada penanaman makna.

Tulisan yang disajikan dalam portal Guru Pintar Online (GPO) ini dimaksudkan untuk memberikan wawasan bagi guru dalam membelajarkan matematika di SD khususnya terhadap konsep pembagian agar guru tidak melakukan kekeliruan dalam memberi pemahaman, memaknai dan mengilustrasikannya. Selain memberikan wawasan, tulisan ini juga dimaksudkan untuk memberi refleksi bagi guru jikalau diwaktu yang lalu pernah melakukan kekeliruan sebagaimana beberapa temuan yang disajikan dalam tulisan ini.

Matematika dan Aktivitas Pembelajarannya di SD
Secara ilmu, matematika dikenal sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat abstrak dan dibangun melalui proses penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran yang sebelumnya sudah diterima. Dengan proses seperti itu, dapat dirasakan bahwa keterkaitan antar konsep dalam matematika sangat kuat. Ditinjau dari peta kompetensi materi, matematika seringkali dipandang sebagai suatu mata pelajaran yang memiliki alur penyampaian materi yang bersifat hierarkis. Dalam alur tersebut, untuk mencapai kompetensi materi yang baru, diperlukan pencapaian terlebih dahulu kompetensi penguasaan materi sebelumnya. Alur tersebut memberi kesan bahwa belajar matematika umumnya berlangsung dari yang sederhana menuju hal-hal yang kompleksitasnya tinggi. Dengan kondisi itu, harus diakui bahwa matematika bukan sesuatu yang mudah untuk dipelajari.
Pengalaman menunjukkan bahwa kualitas pembelajaran matematika di Indonesia, mulai dari SD sampai dengan SMA, bahkan mungkin sampai pada jenjang perguruan tinggi belum bagus. Hasil-hasil belajar yang diperlihatkan siswa dalam berbagai kesempatan menunjukkan hal itu.
Ada berbagai alasan yang masuk akal untuk menjelaskan penyebab rendahnya prestasi matematika di sekolah dasar. Pertama, terkait dengan pembelajaran matematika itu sendiri. Pembelajaran matematika di SD, umumnya masih bersifat menjelaskan pengetahuan ke dalam pikiran anak. Anak dianggap hanya sebagai lembaran kertas putih yang siap ditulisi. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila melihat aktivitas sebagian besar guru di kelas yang cenderung hanya memindahkan pengetahuan yang dia miliki ke dalam pikiran anak secara kering, yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:
1.      memberitahu
2.      mengajari
3.      melatih, seperti mendrill untuk menyelesaikan soal
4.      menanyakan fakta-fakta
5.      mementingkan hasil dari pada proses
6.      memuji anak jika yang bersangkutan dapat menjawab soal dengan baik dan sebaliknya memarahi anak jika salah menjawab
7.      mengajarkan materi secara urut halaman per halaman tanpa membahas keterkaitan antar konsep atau masalah
8.      sangat tergantung pada buku teks

Selain itu, pembelajaran selalu terpusat pada guru. Siswa hanyalah penerima pasif semua informasi yang disampaikan guru. Mereka datang ke sekolah, duduk, mendengarkan, menulis, dan menjawab soal-soal (latihan). Suatu cara belajar yang tidak efektif walaupun mungkin efisien bagi guru, sebab dengan demikian guru dapat menyelesaikan bahan kurikulum sesuai dengan tuntutan yang mementingkan hasil dan objektivitas.

Teori Belajar Matematika
Bruner dalam teorinya menyatakan bahwa belajar matematika akan berhasil jika proses pembelajarannya diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur yang termuat dalam pokok bahasan yang diajarkan, di samping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur.
Lebih lanjut, Bruner mengungkapkan bahwa dalam proses pembelajaran sebaiknya siswa diberi kesempatan untuk memanipulasi benda-benda (alat peraga manipulatif). Dengan benda-benda tersebut, siswa dapat merasakan dan melihat langsung bagaimana keteraturan serta pola yang terdapat dalam benda yang diperhatikan atau dimanipulatifnya. Keteraturan tersebut kemudian oleh siswa dihubungkan dengan keteraturan intuitif yang telah melekat pada dirinya sehingga seolah-olah menjadi penemuannya.
Nampaklah bahwa Bruner sangat menyarankan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran secara penuh. Lebih disukai lagi apabila proses pembelajaran tersebut berlangsung di tempat yang telah dilengkapi dengan objek-objek untuk dimanipulasi siswa.
Dalam merancang proses pembelajaran matematika di SD, seorang guru perlu memperhatikan paling sedikit 2 (dua) aspek, yaitu matematika dan sifatnya, serta tingkat perkembangan berpikir anak SD, yang menurut Piaget (dalam Karso, 1991) masih dalam taraf berpikir belum formal (relatif masih konkret). Berdasarkan pendapatnya tersebut, Piaget mengisyaratkan agar dalam membelajarkan matematika di SD harus menggunakan objek kejadian konkret untuk kemudian dikembangkan dengan model atau ide abstraknya.
   Dengan demikian, untuk mempelajari konsep abstrak dalam matematika anak memerlukan objek atau kejadian konkret atau dapat dipertegas lagi berupa penggunaan alat bantu pembelajaran (berupa benda-benda manipulatif) yang dapat berfungsi  sebagai  perantara atau proses visualisasi konsep.
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah dikatakan bahwa betapa pentingnya menggunakan alat bantu pembelajaran tersebut sebagai sarana bagi siswa untuk mengkonstruksi pengetahuannya dalam pembelajaran matematika.

Alat Peraga dalam Pembelajaran Matematika
Dalam sistem pembelajaran secara umum, terdapat 3 (tiga) hal yang saling terkait erat, yaitu: siswa, guru, dan objek yang dipelajari. Ketiga komponen tersebut membentuk satu-kesatuan dalam suatu proses pembelajaran. Untuk kelancaran proses pembelajaran, maka didukung oleh  faktor lain, seperti sarana penunjang (buku-buku, alat-alat pelajaran, laboratorium, komputer, dan sebagainya). Mengingat semua objek dalam matematika bersifat abstrak, berpola pikir deduktif, dan konsisten, diperlukan media atau alat peraga yang dapat mempermudah siswa belajar matematika, dan yang dapat membantu guru untuk menjelaskan dan memberi pemahaman materi tersebut sesuai dengan karakteristik siswa.

Alat peraga dalam pembelajaran matematika merupakan alat bantu dalam pengkonkretan konsep abstrak.  Penggunaan alat peraga dalam proses pembelajaran mempunyai tujuan, antara lain, untuk:
1.    pembentukan konsep,
2.    pemahaman konsep,
3.    latihan dan penguatan,
4.    pelayanan terhadap perbedaan individu,
5.    pengukuran,
6.    pengamatan dan penemuan sendiri,
7.    pemecahan masalah,
8.    mengundang berpikir, berdiskusi, dan berpartisipasi aktif  siswa (Ruseffendi, E.T., 1979).

Sejak tahun 50-an sampai tahun 70-an, tidak kurang dari 20 rangkuman penelitian menginformasikan penggunaan alat peraga dalam pembelajaran matematika. Dari ke 20 rangkuman tersebut, yang paling lengkap adalah rangkuman yang dikemukakan oleh Dr. Higgins dan Dr. Suydan (dalam Lithanta, 2003). Mereka menyimpulkan bahwa:
1.    Penggunaan alat peraga dalam pembelajaran matematika itu berhasil dan efektif dalam mendorong prestasi siswa
2.    Sekitar 60% melawan 10% menunjukkan keberhasilan yang meyakinkan ketika seorang siswa belajar menggunakan alat peraga terhadap yang tidak menggunakannya. Informasi lain mengatakan bahwa besarnya prosentase yang menyatakan bahwa penggunaan alat peraga itu paling tidak hasil belajarnya sama dengan yang tidak menggunakan alat peraga adalah 90%.
3.    Manipulasi alat peraga dalam proses pembelajaran dirasa sangat penting bagi siswa di semua tingkatan.
4.    Ditemukan sedikit bukti bahwa menipulasi alat peraga itu hanya berhasil di tingkat yang lebih rendah.
Selain itu, diinformasikan pula beberapa manfaat dari penggunaan alat peraga dalam pembelajaran matematika, yaitu:
1.    Dengan alat peraga, siswa akan lebih banyak mengikuti pelajaran matematika dengan gembira. Dengan timbulnya kegembiraan tersebut, minat siswa untuk ikut mempelajari matematika semakin besar. Anak akan terangsang, senang, tertarik, dan bersikap positif terhadap pelajaran matematika.
2.    Dengan disajikannya konsep abstrak matematika dalam bentuk konkret yang prosesnya dibantu dengan menggunakan alat peraga, maka pada tingkat-tingkat yang lebih rendah siswa akan lebih mudah memahami dan menangkap makna dari konsep abstrak matematika.
3.    Alat peraga dapat membantu daya tilik ruang, terutama alat peraga atau gambar bentuk-bentuk geometri ruang. Melalui gambar dan benda-benda nyata tersebut, siswa akan terbantu dalam mengamati apa yang ditiliknya dan lebih berhasil dalam belajarnya.
4.    Anak akan menyadari adanya hubungan antara konsep matematika yang ada dalam proses pembelajaran dengan benda-benda yang ada disekitarnya, atau antara ilmu dengan alam sekitar dan masyarakat.
5.    Konsep-konsep abstrak yang tersajikan dalam bentuk konkret, yaitu dalam bentuk model matematika dapat dijadikan objek penelitian dan dapat pula dijadikan alat untuk penelitian ide-ide baru dan relasi-relasi baru.

Membelajarkan Operasi Hitung Pembagian di SD
Secara ilmu, matematika memang dikenal sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat abstrak dan dibangun melalui proses penalaran deduktif.  Akan tetapi,  di sekolah dasar penyampaiannya harus dibuat agar menjadi konkret dan induktif. Hal ini tentu disesuaikan  dengan karakteristik pola berpikir siswa SD.  Tentu tidak mudah bagi guru untuk dapat mengkonkretkan sifat abstrak matematika bagi siswa SD yang relatif belum mampu berpikir abstrak.

Pembagian adalah konsep utama dalam matematika yang seharusnya dipelajari anak-anak di sekolah dasar setelah mereka diberi bekal bagaimana melakukan operasi hitung penjumlahan, pengurangan dan perkalian. Secara hierarkhi, operasi hitung pembagian sebenarnya diberikan setelah siswa memahami dengan baik bagaimana melakukan operasi hitung pengurangan. materi ini mulai diperkenalkan pada siswa SD di kelas 2 dan 3 terhadap bilangan cacah, serta di kelas 4 dan 5 terhadap bilangan pecahan. 

Secara matematis, metode yang paling sesuai untuk membelajarkan operasi hitung pembagian pada anak pada awal adalah dengan menghubungkannya dengan konsep pengurangan, yaitu dengan memandang pembagian sebagai pengurangan berulang atau beruntun yang secara matematis ditulis sebagai   a : b = a – b – b – b . . . . . = 0. Misal, 24 : 3 = 24 – 3 – 3 – 3 – 3 – 3 – 3 – 3 – 3 = 0. Berarti 24 : 3 = 8. Hasil ini ditunjukkan oleh banyaknya angka 3 yang muncul sebagai bilangan pengurangnya. Dengan pendekatan pengurangan berulang ini, anak diharapkan dapat menggunakan pemahaman yang telah didapat selama mempelajari operasi pengurangan dan untuk selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk mempelajari operasi hitung pembagian.

Cara selanjutnya untuk membelajarkan operasi hitung pembagian adalah dengan memandang pembagian sebagai ”Invers Perkalian”, yaitu a : b = . . .  sebagai b x . . .  = a. Tentu cara membelajarkan dengan konsep ini dapat dilakukan dengan baik jika anak benar-benar telah menguasai cara pengurangan berulang dan juga memahami operasi hitung perkalian dengan baik. Dengan kedua pendekatan tersebut, diharapkan siswa mampu melihat hubungan yang erat di antara kedua operasi hitung tersebut.

Namun demikian, dalam membelajarkan konsep pembagian tersebut kepada siswa yang baru dikenalkan hendaknya didahului dengan proses pemahaman dan penanaman makna tentang arti pembagian menggunakan alat peraga manipulatif berupa benda-benda kongkrit (kelereng, kancing baju, permen, dan lain-lain) sebagai pendekatan yang konkrit dan kemudian didekati dengan pemberian ilustrasi yang sesuai sebagai pendekatan yang semikongkrit sebelum siswa dikenalkan pada konsep yang abstrak melalui proses abstraksi dan pengenalan fakta dasar pembagian.

Related Posts :

0 Response to "ARTIKEL TENTANG BAGAIMANA SEHARUSNYA GURU MEMBERIKAN PEMAHAMAN DAN PEMAKNAAN KONSEP PEMBAGIAN KEPADA SISWA DI SEKOLAH DASAR"

Posting Komentar