Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabbarakatuh
Selamat Pagi
sinarberita.com - Ganti Menteri ganti kebijakan itulah yang tengahr terjadi saat ini, namun sebagaimana yang telah pernah disampaikan oleh Mendikbud baru Muhadjir Effendy bahwa beberapa program mendikbud lama akan dilanjutkan.
Ide full day school (FDS) harus dibahas dengan matang sebelum diterapkan. Soalnya, wacana yang digelontor Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy ini sudah menuai pro dan kontra di masyarakat.
Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Balikpapan Muhaimin mengatakan, sebenarnya semangat FDS sangat baik. Hanya masih banyak pembahasan yang perlu dilakukan agar setiap sekolah mampu melaksanakan program tersebut.
Muhaimin menyebutkan, pemikiran FDS timbul karena melihat ada masa abu-abu atau waktu kosong yang dimiliki siswa setelah pulang sekolah. Dalam kondisi normal, sekolah hanya dapat mengawasi siswa dari pagi hingga siang hari.
Sedangkan, kebanyakan orangtua baru berada di rumah setelah pulang bekerja pada sore hari. Padahal di luar jam sekolah sudah menjadi tanggung jawab orangtua untuk menjaga anak mereka.
“Sehingga wajar saja jika menteri berpikir untuk lebih baik memberikan kegiatan positif lewat konsep FDS. Daripada siswa mengisi waktu luang tanpa pengawasan, idenya agar sekolah mampu bertanggung jawab soal etika dan perilaku anak selama masa abu-abu itu,” katanya kepada Kaltim Post tadi malam.
Namun, berdasarkan pemikirannya, Balikpapan belum sepenuhnya siap jika dipilih sebagai pilot project konsep FDS. Alasannya dari beragam faktor. Sarana dan prasarana, sumber daya manusia, sampai pemikiran terhadap kondisi mental siswa.
Ia mengungkapkan, SD bisa dipastikan tidak siap. Sebab, hampir semua sekolah terutama SD negeri beroperasional dengan sistem dua sif. Pagi-siang dan siang-sore. Hal itu perlu dilakukan karena memang kurangnya ruang kelas belajar (RKB). “Berbeda dengan SD berbasis keagamaan yang rata-rata sudah menerapkan FDS. Tapi, berarti terbukti FDS tidak ada masalah dan bisa dilaksanakan,” tuturnya.
Kemudian, jika hanya dilihat dari sarana dan prasarana, maka SMP dan SMA/SMK jauh lebih siap melaksanakan FDS. Tetapi, SDM akan menjadi kendala yang dihadapi sekolah menengah. Ia berpendapat, menteri tidak hanya berpikir soal akademis atau kurikulumnya. Namun, berharap bahwa FDS mampu membentuk perilaku dan akhlak siswa dari kegiatan ekstrakurikuler itu.
“Jika penerapannya benar begitu, maka peningkatan SDM guru menjadi pembahasan utama. Kenyataannya sudah tiga tahun terakhir ini kita moratorium penerimaan guru,” ucapnya.
Belum lagi, Muhaimin merasa kebutuhan SDM guru dalam bidang konseling (BK) akan bertambah. Sementara, jumlah guru BK saat ini masih kurang. Sedangkan, kalau harus merekrut tenaga honor dari non-PNS berarti akan mengurangi dana BOS yang diperuntukkan bagi siswa. Peraturannya, guru honor dibayar dari dana BOS/BOS daerah.
Sehingga jelas FDS akan berpengaruh pada dana operasional sekolah. Muhaimin berpendapat akan ada penambahan guru. Selain itu, ada pula kaitannya dengan jam mengajar guru yang bertambah. Maka, seharusnya ada tunjangan sertifikasi lebih untuk guru.
“Syarat untuk mendapatkan tunjangan sertifikasi adalah guru memiliki jam mengajar minimal 24 jam per minggu. Kondisinya, saat ini sudah banyak guru yang bahkan memiliki jam mengajar lebih dari 24 jam itu. Tapi, kami tidak mampu memberikan tunjangan sertifikasi tambahan. Bagaimana kalau harus ada FDS, berarti ada guru yang sudah lebih dari 24 jam masih harus menambah jam mengajar. Siapa yang bertanggung jawab?” ujarnya.
Ia menambahkan, hal lain yang perlu diperhatikan adalah jika siswa berada seharian di sekolah, mau tidak mau ada biaya makan siang. Masalahnya tidak mungkin sekolah menanggung biaya tersebut. Muhaimin memberikan perumpamaan, misalnya biaya makan siang dibebankan pada orangtua. Apabila satu hari Rp 10 ribu untuk makan siang, maka dalam sebulan membutuhkan dana sekitar Rp 260 ribu.
“Jadi, pemerintah perlu berpikir, apa contohnya mampu memberikan uang buat makan siang sampai menambah tunjangan sertifikasi,” katanya.
“Kalau FDS sudah jadi program nasional dan ada bentuk regulasi yang jelas, Disdik pasti mengikuti dengan melakukan uji coba pada beberapa sekolah terlebih dahulu. Namun, ada harapan agar ada anggaran tambahan dari pemerintah pusat melalui APBN yang diberikan untuk sekolah,” tambahnya.
Terakhir, Muhaimin juga tidak ingin program FDS dapat mengambil hak anak-anak untuk berinteraksi sosial dan bermain. Menurutnya, anak-anak tidak hanya memiliki tugas untuk belajar, mereka pun butuh waktu untuk me-refresh diri. “Jangan sampai FDS akan merenggut masa bermain anak dan membuat mereka jenuh dengan sekolah. Akibatnya, siswa tidak bisa menangkap pelajaran dengan baik,” jelasnya.
Ia pun berpikir soal waktu guru yang tersita lebih banyak di sekolah, padahal guru juga berhak untuk menghabiskan waktu dengan keluarga dan anak-anaknya. “Jadi, tidak hanya bicara soal uang atau dana. Kita perlu memikirkan pengorbanan guru dan siswa saat harus kehilangan waktu berinteraksi sosial dengan pemberlakuan program FDS,” tuturnya.
Sebelumnya, anggota DPR RI daerah pemilihan Kaltim dan Kaltara, Hetifah Sjaifudian menyebut, apabila FDS jadi diterapkan tahun ini, kondisinya berat. Belum menyinggung kemampuan SDM, masih banyak ditemukan siswa yang harus bergantian masuk karena keterbatasan ruang belajar. Dia meminta agar jangan ada unsur pemaksaan dalam menerapkan konsep baru ini sebelum dilakukan uji coba. Di Kaltim, Balikpapan dan Berau layak menjadi percobaan terlebih dulu.
PENGARUHI JAM MENGAJAR
Kehebohan pernyataan Mendikbud Muhadjir Effendy tidak berhenti soal sistem FDS. Menteri asal Malang itu juga sempat melontarkan pemangkasan beban jam mengajar guru. Dari semula 24 jam pelajaran per pekan, menjadi 12 jam pelajaran per pekan.
Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemendikbud Sumarna Surapranata menuturkan, yang dimaksud oleh Muhadjir itu bukan pengurangan batas minimal. ’’Batas minimal mengajarnya tetap 24 jam tatap muka per pekan sesuai undang-undang,’’ katanya di Jakarta kemarin.
Dia menjelaskan yang sedang digodok Kemendikbud adalah, memperbanyak ekuivalensi atau penyetaraan beban mengajar. Dengan ekuivalensi itu, guru tidak perlu repot lagi mengajar di banyak sekolah untuk mengejar beban minimal 24 jam pelajaran per pekan. Hasil evaluasi Kemendikbud, pembelajaran oleh guru yang mengajar di banyak sekolah tidak efektif.
’’Karena capek, di kelas menggunakan model catat buku sampai habis,’’ jelasnya lantas tertawa. Pejabat yang akrab disapa Pranata itu menjelaskan Kemendikbud akan memperbanyak kegiatan-kegiatan guru yang bisa digunakan untuk ekuivalensi atau pengurangan beban mengajar.
Di antaranya guru yang menjadi pengurus organisasi profesi akan mendapatkan pemotongan dua jam pelajaran. Sehingga di dalam kelas dia tinggal memenuhi 22 jam pelajaran per pekan. Lalu, guru yang mengajar per grup atau dua guru dalam satu rombongan belajar (rombel), juga bisa dihitung beban mengajar.
Pranata mengatakan guru-guru produktif di SMK sangat memungkinkan mengajar secara per grup. Sebab, pembelajaran praktik-praktik dengan jumlah siswa yang banyak, lebih efektif dipegang oleh beberapa guru. Sehingga siswa menjadi kelompok-kelompok kecil di bengkel atau laboratorium.
Pejabat yang hobi makan durian itu menuturkan aturan baru ekuivalensi itu akan keluar bulan ini juga. Dia menegaskan bahwa acuan utama beban mengajar guru tetap 24 jam pelajaran per pekan. Jika dikonversi ke jam normal, dalam sepekan guru bekerja minimal 17,5 jam. Bandingkan dengan rata-rata PNS nonguru yang bekerja mencapai 37,5 jam per pekan.
Baca juga berita lainya :
- PENGUMUMAN...!!! GAJI PNS NAIK GOLONGAN DISESUAIKAN MULAI 1 OKTOBER 2016
- TAK MAU DITAHAN, SISWA PEMUKUL GURU MERASA TERTEKAN DAN STRESSS
- MAHKAMAH AGUNG : GURU TAK BISA DIPIDANA KARENA MENDISIPLINKAN SISWA
Plt Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi menyambut baik kebijakan ekuivalensi beban mengajar itu. Dia mengatakan selama ini sudah ada ketentuan ekuivalensi atau penyetaraan, namun di lapangan tidak berjalan dengan baik. Sehingga masih banyak guru yang terpaksa mengajar di banyak sekolah untuk mengejar 24 jam per pekan.
Guru-guru itu nekat mengajar di banyak tempat, karena syarat utama mendapatkan tunjangan profesi guru adalah mengajar minimal 24 jam per pekan. ’’Guru juga ada tugas seperti menjadi wali kelas, mengisi rapor, guru ekstrakurikuler, itu harus dihargai sebagai jam mengajar,’’ tandasnya.
(Sumber : prokal)
Demikian berita seputar pendidikan dan guru yang dapat kami bagikan, semoga bermanfaat.
Untuk info terbaru lainya silakan kunjungi laman DISINI
0 Response to "INILAH HASIL EVALUASI KEMENDIKBUD TERKAIT PENGURANGAN SYARAT MENGAJAR 24 JAM"
Posting Komentar