Secara teori kebijakan pemerintah dalam melakukan pengembangan
keprofesian berkelanjutan (PKB) bagi guru sangatlah bagus terkait dengan masalah kenaikan pangkat atau golongan guru melalui pembuatan karya ilmiah namun dirasa berat oleh guru menginat begitu banyaknya tugas dan kurangny waktu yang dimiliki oleg para guru.
Tuntutan mengajar 24 jam begitu menguras tenaga, waktu serta pikiran para guru dan ketentuan publikasi ilmiah sebagai bagian dari pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) yang sulit ini mendorong tejadinya kecurangan.
Sebagaimana berita yang admin kutip dari kompas.com bahwa peningkatan jenjang serta karier guru di pendidikan anak usia dini, dasar, dan menengah terganjal kewajiban publikasi ilmiah atau karya inovatif. Kondisi ini dirasakan guru semakin berat karena pemerintah mengetatkan aturan publikasi ilmiah.
Sebelumnya, kewajiban menulis publikasi ilmiah dimulai bagi guru yang hendak naik dari golongan IVA ke IVB. Aturan ini menyebabkan guru pegawai negeri sipil bertumpuk di golongan IVA akibat tidak memenuhi kewajiban membuat karya ilmiah.
Aturan baru yang diberlakukan pemerintah bahwa guru harus membuat publikasi ilmiah atau karya inovatif jika hendak naik dari golongan IIIB ke IIIC membuat guru menjerit. Semakin tinggi golongan, kewajiban membuat publikasi ilmiah bertambah. ”Sampai saat ini tidak ada satu guru pun di Sumba Timur yang ada di golongan IVB karena harus membuat karya tulis. Ada yang 10 tahun tidak naik pangkat,” kata Juspan, Sekretaris Daerah Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Rabu (5/11).
Wijaya Kusumah, salah seorang Pengurus Pusat Ikatan Guru Indonesia, mengatakan, guru yang mengajar tatap muka minimal 24 jam per minggu diharuskan juga membuat publikasi ilmiah, padahal dosen hanya
Tuntutan mengajar 24 jam begitu menguras tenaga, waktu serta pikiran para guru dan ketentuan publikasi ilmiah sebagai bagian dari pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) yang sulit ini mendorong tejadinya kecurangan.
Sebagaimana berita yang admin kutip dari kompas.com bahwa peningkatan jenjang serta karier guru di pendidikan anak usia dini, dasar, dan menengah terganjal kewajiban publikasi ilmiah atau karya inovatif. Kondisi ini dirasakan guru semakin berat karena pemerintah mengetatkan aturan publikasi ilmiah.
Sebelumnya, kewajiban menulis publikasi ilmiah dimulai bagi guru yang hendak naik dari golongan IVA ke IVB. Aturan ini menyebabkan guru pegawai negeri sipil bertumpuk di golongan IVA akibat tidak memenuhi kewajiban membuat karya ilmiah.
Aturan baru yang diberlakukan pemerintah bahwa guru harus membuat publikasi ilmiah atau karya inovatif jika hendak naik dari golongan IIIB ke IIIC membuat guru menjerit. Semakin tinggi golongan, kewajiban membuat publikasi ilmiah bertambah. ”Sampai saat ini tidak ada satu guru pun di Sumba Timur yang ada di golongan IVB karena harus membuat karya tulis. Ada yang 10 tahun tidak naik pangkat,” kata Juspan, Sekretaris Daerah Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Rabu (5/11).
Wijaya Kusumah, salah seorang Pengurus Pusat Ikatan Guru Indonesia, mengatakan, guru yang mengajar tatap muka minimal 24 jam per minggu diharuskan juga membuat publikasi ilmiah, padahal dosen hanya
mengajar 12 jam per minggu.
”Guru sudah sibuk dengan tugas utamanya dan administrasi. Memang tidak mudah untuk bisa meluangkan waktu meneliti. Sebab, budaya baca dan tulis guru juga masih rendah,” kata Wijaya.
Iwan Hermawan, Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia, menambahkan, secara teori kebijakan pemerintah bagus. Mengingat sumber daya guru di Indonesia yang masih rendah, pembuatan publikasi ilmiah tentu saja memberatkan, terutama untuk guru di jenjang pendidikan dasar.
”Secara realitas, untuk memenuhi empat kompetensi dasar saja belum mampu, ditambah lagi publikasi ilmiah. Apalagi, selama ini tidak ada pelatihan yang intensif bagi guru, tetapi tuntutan pemerintah pada guru amat tinggi,” kata Iwan.
Berdasarkan hasil uji kompetensi guru secara nasional yang dilaksanakan Kemdikbud beberapa tahun belakangan, guru TK-SMA/SMK masih sangat butuh peningkatan di kompetensi pedagogik (kemampuan mengajar) dan profesional (penguasaan materi yang diampunya). Kompetensi terendah justru dimiliki guru SD dan pengawas sekolah.
Dorong kecurangan
Iwan mengatakan, ketentuan publikasi ilmiah sebagai bagian dari pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) yang sulit ini mendorong kecurangan. Kini, muncul layanan jasa untuk pembuatan karya ilmiah bagi guru yang ingin bisa naik golongan.
Ada juga guru yang tergoda untuk membeli karya tulis karena ada uang dari tunjangan profesi guru.
Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia, mengatakan, sulit bagi guru untuk memenuhi ketentuan pemerintah. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya pelatihan menulis publikasi ilmiah yang berkesinambungan bagi guru.
Sulistiyo, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia, mengatakan, ada sekitar 800.000 guru yang stagnan di IVA karena tidak bisa membuat karya tulis ilmiah. Di SD, sebanyak 30,4 persen guru terhenti di golongan IVA. Di SMP, guru golongan IVA sebanyak 28,3 persen. Hanya sedikit yang bisa ke golongan IVB ke atas, bahkan tidak ada guru SD dan SMP yang bisa ke IVE. (sumber : kompas.com)
”Guru sudah sibuk dengan tugas utamanya dan administrasi. Memang tidak mudah untuk bisa meluangkan waktu meneliti. Sebab, budaya baca dan tulis guru juga masih rendah,” kata Wijaya.
Iwan Hermawan, Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia, menambahkan, secara teori kebijakan pemerintah bagus. Mengingat sumber daya guru di Indonesia yang masih rendah, pembuatan publikasi ilmiah tentu saja memberatkan, terutama untuk guru di jenjang pendidikan dasar.
”Secara realitas, untuk memenuhi empat kompetensi dasar saja belum mampu, ditambah lagi publikasi ilmiah. Apalagi, selama ini tidak ada pelatihan yang intensif bagi guru, tetapi tuntutan pemerintah pada guru amat tinggi,” kata Iwan.
Berdasarkan hasil uji kompetensi guru secara nasional yang dilaksanakan Kemdikbud beberapa tahun belakangan, guru TK-SMA/SMK masih sangat butuh peningkatan di kompetensi pedagogik (kemampuan mengajar) dan profesional (penguasaan materi yang diampunya). Kompetensi terendah justru dimiliki guru SD dan pengawas sekolah.
Dorong kecurangan
Iwan mengatakan, ketentuan publikasi ilmiah sebagai bagian dari pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) yang sulit ini mendorong kecurangan. Kini, muncul layanan jasa untuk pembuatan karya ilmiah bagi guru yang ingin bisa naik golongan.
Ada juga guru yang tergoda untuk membeli karya tulis karena ada uang dari tunjangan profesi guru.
Retno Listyarti, Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia, mengatakan, sulit bagi guru untuk memenuhi ketentuan pemerintah. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya pelatihan menulis publikasi ilmiah yang berkesinambungan bagi guru.
Sulistiyo, Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia, mengatakan, ada sekitar 800.000 guru yang stagnan di IVA karena tidak bisa membuat karya tulis ilmiah. Di SD, sebanyak 30,4 persen guru terhenti di golongan IVA. Di SMP, guru golongan IVA sebanyak 28,3 persen. Hanya sedikit yang bisa ke golongan IVB ke atas, bahkan tidak ada guru SD dan SMP yang bisa ke IVE. (sumber : kompas.com)
0 Response to "KENAIKAN GOLONGAN JABATAN GURU TERGANJAL PUBLIKASI KARYA ILMIAH"
Posting Komentar