PENGERTIAN HAKIKAT MANUSIA
Pengertian hakikat manusia dari berbagai sumber aliran agama
:
Pandangan dari segi agama, Islam, Kristen, dan Katolik
menolak pandangan hakekat manusia adalah jasmani dengan teori evolusi. Tetapi,
hakekat manusia adalah paduan menyeluruh antara akal, emosi dan perbuatan.
Dengan hati dan akalnya manusia terus menerus mencari kebenaran dan dianugerahi
status sebagai khalifah Allah.
Ciri-ciri hakekat manusia adalah sebagai berikut :
a. Makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat
menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
b. Individu yang memiliki sifat rasional yang
bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan social yang mampu
mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif sehingga mampu mengatur dan
mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya.
c. Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan
terus berkembang tidak pernah selesai selama hidupnya.
d. Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan
dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan
membuat dunia lebih baik untuk ditempati
e. Suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya
merupakan ketakterdugaan dengan potensi yang tak terbatas
f. Makhluk Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang
mengandung kemungkinan baik dan jahat.
g. Individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan
turutama lingkungan sosial, bahkan ia tidak bisa berkembang sesuai dengan
martabat kemanusaannya tanpa hidup di dalam lingkungan sosial.
ASPEK-ASPEK HAKIKAT MANUSIA
1. Manusia sebagai Makhluk Tuhan
Manusia adalah subjek yang memiliki kesadaran
(consciousness) dan penyadaran diri (self-awarness). Karena itu, manusia adalah
subjek yang menyadari keberadaannya, ia mampu membedakan dirinya dengan segala
sesuatu yang ada di luar dirinya (objek), selain itu manusia bukan saja
mampu berpikir tentang diri dan alam sekitarnya, tetapi sekaligus sadar tentang
pemikirannya. Namun, sekalipun manusia menyadari perbedaan dengan alam bahwa
konteks keseluruhan alam semesta manusia merupakan bagian daripadanya.
Terdapat dua pandangan filsafat yang berbeda tentang
asal-usul alam semesta, yaitu Evolusionismedan Kreasionisme.
Menurut Evolusionisme, alam semesta menjadi ada bukan karena
diciptakan oleh Sang Pencipta atau Prima Causa, melainkan ada dengan
sendirinya, alam semesta berkembang dari alam itu sendiri sebagai hasil
evolusi. Sebaliknya, Kreasionisme menyatakan bahwa adanya alam semesta adalah
sebagai hasil ciptaan suatu Crative Cause atau Personality, yang
kita sebut sebagai Tuhan Yang Maha Esa.
Bertolak dari pandangan tersebut, secara umum ada dua
pandangan yang berbeda pula tentang asal-usul manusia. Menurut Evolusionisme
beradanya manusia di alam semesta adalah sebagai hasil evolusi. Sebaliknya
Kreasionisme menyatakan bahwa beradanya manusia di alam semesta sebagai makluk
(ciptaan) Tuhan.
Oleh karena itu manusia berkedudukan sebagai makluk Tuhan
Yang Maha Esa maka dalam pengalaman hidupnya terlihat bahkan dapat kita alami
sendiri adanya Fenomena Kemaklukan. Fenomena kemakhlukan ini,
antara lain berupa pengakuan atas kenyataan adanya perbedaan kodrat dan
martabat manusia daripada Tuhannya. Manusia merasakan dirinya begitu kecil dan
rendah di hadapan Tuhan Yang Maha Besar dan Maha Tinggi. Manusia mengakui keterbatasan
dan ketidakberdayaannya dibanding Tuhannya yang Maha Kuasa dan Maha Perkasa.
Manusia serba tidak tahu, sedangkan Tuhan serba Maha Tahu. Manusia bersifat
fana, sedangkan Tuhan bersifat abadi, manusia merasakan kasih sayang TuhanNya,
namun ia pun tahu begitu pedih siksaNya.
Dengan demikian, di balik adanya rasa cemas dan takut itu
muncul pula adanya harapan yang mengimplikasikan kesiapan
untuk mengambil tindakan dalam hidupnya. Adapun hal tersebut dapat menimbulkan
kejelasan akan tujuaqn hidupnya, menimbulkan sikap positif dan familiaritas
akan masa depannya, menimbulkan rasa dekat dengan PenciptaNya.
2. Manusia sebagai Kesatuan Badan-Roh
Terdapat empat paham mengenai struktur metafisik manusia,
yaitu Materialisme, Idealisme, Dualisme, dan paham yang menyatakan bahwa
manusia adalah kesatuan badan-roh.
Materialisme : alam semesta atau realitas ini
tiada lain adalah serba materi, zat, atau benda. Manusia merupakan bagian dari
alam semesta sehingga manusia tidak berbeda dari alam itu sendiri. Yang
esensial dari manusia adalah badanya, bukan jiwa atau rohnya.
Manusia adalah paa yang nampak dalam wujudnya, terdiri atas zat (daging,
tulang, urat syaraf). Segala hal yang bersifat kejiwaan, spiritual atau
rohaniah pada manusia dipandang hanya sebagai resonansi saja dari fungsinya
badan atau organ tubuh.
Idealisme : bertolak belakang dengan pandangan
di atas, menurut penganut Idealisme bahwa esensi diri manusia adalah jiwanya
atau spiritnya atau rohaninya. Dalam hubungannya dengan badan, jiwa berperan
sebagai pemimpin badan, jiwalah yang mempengaruhi badan karena itu badan
mempunyai ketergantungan kepada jiwa. Jiwa adalah asas primer yang menggerakkan
semua aktivitas manusia, badan tanpa jiwa tiada memiliki daya.
Dualisme : dari dua pandangan diatas tampak
bertolak belakang. Pandangan pertama bersifat monis-materialis, sedangkan
kedua bersifat monis-spiritualis. Menurut Descartes esensi
diri manusia terdiri atas dua substansi, yaitu badan dan jiwa. Oleh
karena manusia terdiri atas dua substansi yang berbeda (badan dan jiwa) maka
antara keduanya tidak terdaoat hubungan salaing mempengaruhi, namun demikian
setiap peristiwa kejiwaan selalu pararel dengan peristiwa badaniah atau
sebaliknya.
Sebagai kesatuan badan-rohani, manusia hidup dalam ruang dan
waktu, sadar akan diri dan lingkungannya, mempunyai berbagai kebutuhan,
insting, nafsu, serta mempunyai tujuan. Selain itu, manusia potensi untuk
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan potensi berperasaan (rasa),
potensi berkehendak (karsa), dan memiliki potensi untuk berkarya. Adapaun dalam
eksitensinya manusia memiliki aspek individualitas, sosialitas, moralitas,
keberbudayaan dan keberagamaan. Implikasinya maka manusia itu berinteraksi atau
berkomunikasi, memiliki historisitas dan dinamika.
3. Manusia sebagai Makhluk Individu
Sebagai individu manusia adalah kesatuan yang tak dapat
dibagi antara aspek badani dan rohaninya. Manusia bukan hanya badan, sebaliknya
bukan hanya roh. Sebagai individu, setiap manusia mempunyai perbedaan sehingga
bersifat unik. Setiap manusia mempunyai dunianya sendiri, tujuan hidupnya
sendiri. Masing-masing secara sadar berupaya menunjukkan eksistensinya, ingin
menjadi dirinya sendiri atau bebas bercita-cita untuk menjado seseorang
tertentu, dan masing-masing mampu menyatakan “inilah aku” di
tengah-tengah segala yang ada. Karena itu, manusia adalah subjek dan tidak
boleh dipandang sebagai objek.
4. Manusia sebagai Makhluk Sosial
Manusia adalah makhluk individual, namun demikian ia tidak
hidup sendirian, tak mungkin hidup sendirian, dan tidak pula hidup hanya untuk
dirinya sendiri. Manusia hidup
dalam keterpautan dengan sesamanya. Di samping
itu, setiap individu mempunyai dunia dantujuan hidupnya masing-masing, mereka
juga mempunyai dunia bersama dan tujuan hidup bersama dengan
sesamanya. Sehubungan ini Aristoteles menyebut manusia sebagasi makhluk
sosial atau makhluk bermasyarakat
Ernst Cassirer menyatakan : manusia takkan menemukan diri,
manusia taqkkan menyadari individualitasnya, kecuali melalui perantaraan
pergaulan sosial. Masyarakat terbentuk dari individu-individu, maju mundurnya
suatu masyarakat akan ditentukan oleh individu-individu yang membangunnya.s
Oleh karena setiap manusia adalah pribadi (individu) dan
adanya hubungan pengaruh timbal balik antara individu dengan sesamanya maka
idealnya situasi hubungan antara individu dengan sesmanya itu tidak merupakan
hubungan antara subjek dengan objek, melainkan subjek dengan subjek.
Berdasarkan hal itu dan karena terdapat hubungan timbal balik antara individu
dengan sesamanya delam rangka mengukuhkan eksisitensinya masing-masing maka
hendaknya terdapat keseimbangan antara individualitas dan sosialitas pada
setiap manusia.
5. Manusia sebagai Makhluk Berbudaya
Manusia pada dasarnya adalah makhluk budaya yang harus
membudayakan dirinya. Manusia sebagai makhluk budaya mampu melepaskan diri
dari ikatan dorongan nalurinya serta mampu menguasai alam sekitarnysa dengan
alat pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini berbeda dengan binatang sebagai
makhluk hidup yang sama-sama makhluk alamiah dengan manusia dia tidak dapat
melepaskan dari ikatan dorongan nalurinya dan terikat erat oleh alam
sekitarnya.
Istilah kebudayaan berasal dari kata budh berasal
dari bahasa Sansekerta. Dari kata budh ini kemudian dibentuk kata budhayah yang
artinya bangun atau sadar. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah culture.
Driyarkara S.Y. (pengasuh Majalah Basisi, 1980,p-83-84)
menjelaskan bahwa kebudayaan dalam arti yang luas mempunyai empat segi atau
empat aspek. Empat aspek itu adalah :
1. Aspek ekonomi, dalam aspek ini manusia dengan
tangannya mengubah barang-barang tertentu menjadi suatu barang yang berguna
bagi manusia.
2. Aspek teknik, dalam aspek ini manusia dengan
menggunakan tangan-tangan dan kemungkinan-kemungkinan serta sifat-sifat yang
ada pada barang tertentu, hukum-hukum yang ada dalam barang-barang tertentu
dari benda-benda alam disusun menjadi sesuatu hal yang baru dan bernilai
tambah.
3. Kebudayaan dalam arti khas dan sempit, juga
dalam mengubah barang-barang itu manusia mengekspresikan dirinya, sebagai
contoh: mengubah atau mengolah tanah liat menjadi patung yang menimbulkan rasa
baru dan menggetarkan jiwa manusia atau mengekspresikan diri dan budinya pada
patung tersebut.
4. Aspek penghalusan atau sivillasi, aspek
ini merupakan lanjutan dari aspek ketiga diatas. Dalam aspek ini manusia dengan
mengekspresikan dirinya, manusia berusaha untuk mencari hal-hal yang lebih
halus, enak, lincah dan licin sehingga hidupnya dapat meluncur mudah.
Manusia memiliki inisiatif dan kreatif dalam menciptakan
kebudaayaan, hidup berbudaya, dan membudaya. Kebudayaan bukan sesuatu yang ada
di luar manusia, bahkan hakikatnya meliputi perbuatan manusia itu sendiri.
Sejalan dengan ini Ernst Cassirer menegaskan bahwa “ manusia tidak
menjadi manusia karena sebuah faktor di dalam dirinya, seperti misalnya
naluri atau akal budi, melainkan fungsi kehidupannya, yaitu pekerjaannya dan
kebudayaannnya”.
Kebudayaan memiliki fungsi bagi kemungkinan eksistensinya
manusia, namun demikian apabila manusia kurang bijaksana dalam
mengembangkannya, kebudayaan pun dapat menimbulkan kekuataqn-kekuatan yang
mengancam eksistensi manusia. Kodrat dinamika hidup manusia mengimplikasikan
adanya pperubahan dan pembaharuan eksistensinya. Selain itu, mengingat adanya
dampak kebudayaan terhada[p manusia, masyarakat kadang-kadang terombang-ambing
di antara dua ralasi kecenderungan. Di satu pihak ada yang mau melestarikan
bentuk-bentiuk lama (tradisi), sedang yang lain terdorong untuk menciptakan
hal-hal baru (inovasi). Ada pergolakan yang tak kunjung reda antara tradisi dan
inovasi.
6. Manusia sebagai Makhluk Susila
Manusia sadar akan diri dan lingkungannya, mempunyai potensi
dan kemampuan untuk berfikir, berkehendak bebas, bertanggung jawab, serta punya
potensi untuk berbuat baik. Karena itulah, eksistensi manusia
memiliki aspek kesusilaan. Menurut Immanuel Kant, manusia memiliki aspek
kesusilaan karena pada manusia terdapat rasio praktis yang
memberikan perintah mutlak (categorical imperative). Sebgai makhluk otonom atau
memiliki kebebasan, manusia selalu dihadapkan pada satu alternatif tindakan
yang harus dipilihnya.
Adapun kebebasan berbuat ini juga selalu berhubungan dengan norma-norma
moral dan nilai-nilai moral yang juga harus
dipilihnya. Karena manusia mempunyai kebebasan memilih dan menentukan
perbuatannya secara otonom maka selalu ada penilaian moral atau tuntutan
pertanggung jawaban atas perbuatannya.
7. Manusia sebagai Makhluk Beragama
Aspek Keberagamaan merupakan salah satu
karakteristik esensial eksistensi manusia yang terungkap dalam bentuk pengakuan
atau keyakinan akan kebenaran suatu agama yg diwujudkan dalam sikap dan
perilaku. Keberagamaan menyiratkan adanya pengakuan dan pelaksanaan yang
sungguh atas suatu agama, adapun yang dimaksud dengan agam ialah : “satu sistem
credo (tata keimanan atau keyakinan) atas adanya sesuatu yang mutlak di luar
manusia, satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya
mutlak itu, dan satu sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manuisa
dengan manusia dan alam lainnya yang sesuai dan sejalan dengan tata keimanan
dan tata peribadatan termaksud di atas.
Manusia memiliki potensi untuk mampu beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Di lain pihak, Tuhan pun telah menurunkan wahyu
melalui utusan-utusanNya, dan telah menggelar tanda-tanda di alam semesta untuk
dipikirkan oleh manusia agar (sehingga) manusia beriman dan bertakwa kepadaNya.
Manusia hidup beragama kerana agama menyangkut masalah-masalah yang bersifat
mutlak maka pelaksanaan keberagamaan akan tampak dalam kehidupan sesuai agama
yang dianut masing-maswing individu. Dalam keberagamaan ini manusia akan
merasakan hidupnya menjadi bermakna. Ia memperoleh kejelasan tentang dasar hidupnya,
tata cara hidup dalam berbagai aspek kehidupannya, dan menjadi jelas pula apa
yang menjadi tujuan hidupnya.
8. Manusia sebagai Makhluk Berpendidikan
Pendidikan adalah humanisasi, yaitu upaya memanusiakan
manusia atau upaya membantu manusia agar mampu mewujudkan diri sesuai dengan
martabat kemanusiaan. Sebab manusia menjadi manusia yang sebenarnya jika ia
mampu merealisasikan hakikatnya secara total maka pendidikan hendaknya
merupakan upaya yang dilaksanakan secara sadar dengan bertitik tolak pada
asumsi tentang hakikat manusia.
Hidup bagi manusia bukan sekedar hidup sebagaimana hidupnya
tumbuhan atau hewan, melainkan hidup sebagai manusia. Hak hidup bagi manusia
mengimplikasikan hak untuk mendapatkan pendidikan. Sebab hak asasi manusia
diinjak-injak oleh penguasa pemerintahan monarki dan absolutisme. Melalui
pendidikan hak asasi diupayakan agar diperoleh setiap individu.
0 Response to "PENGANTAR PENDIDIKAN TENTANG PENGERTIAN HAKIKAT MANUSIA DAN ASPEK-ASPEK HAKIKAT MANUSIA"
Posting Komentar