Pelaksanaan Ujian Nasional dari tahun ke tahun selalu dibarengi dengan berbagai permasalahan-permasalahan yang timbul salah satu isu yang slalu berkembang adalah tentang terjadinya kecurangan. Pertanyaannya, mengapa kecurangan terus terjadi? Setidaknya, ada dua alasan mendasar yang bisa menjelaskan. Pertama, penekanan yang berlebihan pada hasil, dan bukan pada proses belajar. Akibatnya, hasil menjadi tujuan utama. Ketika hasil dianggap lebih penting daripada proses, segala cara pun dihalalkan demi memperoleh nilai tinggi. Pemerintah sendirilah sebenarnya yang mengajarkan cara pandang seperti itu melalui ujian nasional. Di satu sisi, ujian nasional seakan-akan menjadi hakim penentu masa depan siswa tanpa mempertimbangkan riwayat belajar mereka. Di sisi lain, ujian nasional berisi soal-soal pilihan ganda yang bersifat sangat otoriter, seolah-olah hanya ada satu jawaban benar. Siswa tidak pernah bisa mengajukan argumentasinya mengapa mereka bisa sampai pada pilihan jawaban tertentu. Pembuat soal juga tidak pernah bisa mempertanggungjawabkan mengapa pilihan A, B, C, D, atau E menjadi jawaban benar untuk sebuah soal tertentu. Di sinilah letak persoalannya: bagaimana jika jawaban untuk sebuah soal masih bisa diperdebatkan? Kepada siapa siswa harus mengajukan argumentasi seandainya terdapat soal yang menurut mereka memiliki lebih dari satu jawaban benar? Pembelajaran seharusnya ditempuh melalui proses pengajaran yang benar, melalui tanya-jawab dan diskusi yang mendalam, serta kegiatan yang merangsang siswa untuk berpkir pada level yang tinggi, dan bukan sekadar memilih-milih alternatif-alternatif jawaban.
Kedua, hasil ujian nasional
berdampak pada reputasi dan nama baik sekolah, termasuk di dalamnya kepala
sekolah dan para guru, di mata masyarakat umum. Ketika reputasi dan nama baik
menjadi taruhan, segala cara untuk mempertahankannya seolah-olah sah untuk
dilakukan. Lebih-lebih jika yang dipertaruhkan adalah reputasi kepala sekolah
yang terancam dimutasi Kepala Dinas Pendidikan.
Masyarakat terlanjur beranggapan
bahwa semakin tinggi tingkat kelulusan siswa di sebuah sekolah semakin baik
sekolah tersebut. Jika tingkat ketidaklulusan sebuah sekolah tinggi, jatuhlah
reputasi sekolah tersebut. Masyarakat tidak bisa sepenuhnya disalahkan karena
pandangan mereka itu, sebab pemerintah sendiri secara tidak langsung menanamkan
cara pandang itu ke dalam benak masyarakat. Pemerintah pernah menggunakan hasil
ujian nasional (dulu disebut EBTANAS) untuk menentukan peringkat sekolah (dan
seolah-olah kualitas sekolah) secara nasional, lepas dari proses belajar yang
terjadi di sebuah sekolah. Dari sinilah logika yang salah kaprah itu berawal.
Masyarakat lalu tidak peduli lagi apakah skor tinggi ujian akhir di sebuah
sekolah merupakan hasil dari proses belajar yang benar, atau hasil dari dril
mekanis soal-soal pilihan ganda yang sejak awal diberikan oleh guru mereka atau
oleh lembaga-lembaga bimbingan belajar. Jika tingkat kelulusannya tinggi,
kualitas sekolah tersebut juga tinggi. Jika tingkat kelulusannya rendah,
kualitasnya pun rendah. Demikianlah anggapan masyarakat. Tingkat kelulusan di
sebuah sekolah akhirnya akan berdampak pada jumlah calon siswa yang mendaftar
di sekolah tersebut untuk tahun ajaran yang baru. Jumlah calon siswa yang
mendaftar, dan akhirnya diterima sebagai siswa, tentu juga berpengaruh pada
keberlangsungan sekolah. Alhasil, segala cara pun dilakukan agar sekolah tetap
mempunyai nama baik di masyarakat, dan bertahan hidup.
Kekhawatiran dan keprihatinan
akan dampak buruk ujian yang distandardkan dan tersentralisasi telah banyak
disuarakan oleh para pemerhati pendidikan. Rupa-rupanya, dampak buruk ujian
yang distandardkan juga disadari dan teramati di negara seperti Cina, misalnya.
Yong Zhao, seorang profesor bidang pendidikan di Michigan State University,
dalam artikelnya “China and the Whole Child” yang dimuat dalam majalah
Educational Leadership (Mei 2007), mengulas tantangan-tantangan dalam dunia
pendidikan yang dihadapi Cina. Menurut Yong Zhao persoalan yang muncul dalam
dunia pendidikan Negeri Tirai Bambu itu bersumber pada satu hal, yakni
pemberlakuan sistem ujian yang distandardkan (standardized testing)
secara nasional, yang kemudian menghasilkan praktik pendidikan yang
berorientasi pada tes (test-oriented education).
Dalam sebuah dokumen tahun 1997,
Komisi Pendidikan Nasional (sekarang Kementrian Pendidikan Cina) menyebutkan
beberapa akibat buruk dari praktik pendidikan semacam itu: penekanan berlebihan
pada persiapan menghadapi tes; kurangnya pendidikan moral, sosial, emosional,
dan fisik; model pembelajaran yang mengandalkan hafalan dan dril soal mekanis,
minimnya keterlibatan siswa dalam kegiatan belajar; dan hilangnya kreatifitas.
Banyaknya tes, ujian, dan pekerjaan rumah yang harus dikerjakan siswa juga
ditengarai menjadi konsekuensi yang harus ditanggung oleh siswa akibat praktik
pendidikan tak sehat yang hanya mengejar tingkat keberhasilan
setinggi-tingginya dalam ujian nasional yang diselenggarakan oleh biro
pendidikan nasional.
Kendati artikel tulisan Yong Zhao
tersebut sama sekali tidak menyinggung perihal praktik tak jujur dalam
pelaksanaan ujian nasional sebagaimana terjadi di Indonesia, dampak-dampak
buruk tersebut di atas mengisyaratkan bahwa para guru di Cina juga mengalami
kekhawatiran dan ketakutan yang sama dengan para guru di Indonesia terkait
dengan tingkat kelulusan para siswa, sebab ujian nasional di Cina juga
menentukan kelulusan siswa. Inilah yang menjadi pangkal segala persoalan
pendidikan di Cina.
Praktik pendidikan berusia seribu
tahun yang menjadikan tes sebagai tujuan utama tersebut, menurut Yong Zhao,
mengutip Menteri Pendidikan Cina, telah melanggar undang-undang pendidikan
Cina, yang menyebutkan bahwa tujuan utama pendidikan di Cina adalah
menghasilkan anak-anak dan remaja yang utuh dan seimbang dalam hal moralitas,
intelektual, dan fisik.
Kesadaran untuk mewujudkan
cita-cita pendidikan yang diamanatkan undang-undang pendidikan Cina muncul
tahun 1993 ketika Komite Pusat Partai Komunis Cina bersama dengan Dewan Negara
Cina mengeluarkan Kerangka Kerja Reformasi dan Pengembangan Pendidikan di Cina,
yang menuntut agar sekolah-sekolah dasar dan menengah meninggalkan praktik
pendidikan berorientasi tes, dan mengadopsi pendidikan yang mengembangkan
kualitas-kualitas siswa dalam aspek moral dan etika, budaya dan sains,
kesehatan fisik, kapasitas emosional dan psikologis (Yong Zhao, 2007).
Kesadaran itu ditegaskan lagi
tahun 1999 saat pemerintah Cina menerbitkan sebuah dokumen kebijakan yang
mendorong sekolah-sekolah dasar dan menengah untuk menerapkan ujian kelulusan
mereka sendiri, bukan ujian yang dibuat oleh biro pendidikan negara, serta
melarang pemerintah daerah menggunakan jumlah siswa yang diterima di jenjang
pendidikan lebih tingi sebagai ukuran untuk menentukan kualitas sekolah.
Di negara maju seperti Amerika
Serikat pun, pemberlakuan ujian yang distandardkan juga banyak ditentang sebab
dianggap tidak adil, mengabaikan keragaman siswa, serta merugikan minoritas
dari ekonomi kelas bawah yang mempunyai keterbatasan untuk mendapatkan
sumber-sumber belajar. Dalam disertasinya, Dale E. Margheim (2001),
seorang mahasiswa program doktoral di Virginia Polytechnic Institute and
State University mengungkapkan sebuah contoh dampak buruk standardized
tests yang barangkali juga terjadi di Indonesia, dan negara-negara lain
yang menerapkannya. Natalie J. Martinez, seorang siswi kelas XII SMA San
Antonio, Texas, yang memiliki talenta musik gagal mendapatkan ijazah hanya
karena menemui kesulitan melakukan perhitungan matematis dengan bilangan
pecahan, meskipun Natalie telah dinyatakan menerima beasiswa untuk
belajar musik di Universitas Incarnate Word. Alhasil, siswi bersuara sopran itu
pun tak diterima belajar di universitas Katolik tersebut. Padahal, bilangan
pecahan hampir pasti tak akan pernah digunakannya untuk belajar musik! Inilah
yang disebut ketidakadilan. Bagian kecil dari matematika yang disebut bilangan
pecahan itu telah merobek-robek jaring impian dan cita-citanya dan memupuskan
harapannya.
Dale E. Margheim (2001) juga
menunjukkan satu bentuk ketidakadilan lain yang disebabkan oleh ujian yang
distandardkan. McDonnell, McLaughlin, and Morison (1997), yang ia kutip dalam
bagian disertasinya, menyebutkan bahwa sebagian besar ujian yang dikategorikan
beresiko tinggi (high-stake test), termasuk di dalamnya ujian
yang distandardkan, didasarkan pada premis bahwa semua siswa mampu mencapai
standard akademik tinggi meskipun presmis tersebut sama sekali tidak didasarkan
pada hasil riset. Dengan kata lain semua siswa diperlakukan seolah-olah sama.
Faktanya, mereka sangat beragam dalam kemampuan intelektual, daya serap, muatan
akademis, latar belakang ekonomi, kondisi keluarga, dan lain sebagainya. Belum
lagi keberagaman fasilitas sekolah tempat mereka belajar, akses terhadap
teknologi dan informasi, maupun kemampuan metodologis guru-guru mereka. Siswa
yang bersekolah di kota tentu mempunyai kesempatan lebih besar untuk
mendapatkan sumber-sumber belajar yang layak. Siswa dengan latar belakang
ekonomi kuat mempunyai kesempatan untuk menuntut ilmu di sekolah-sekolah dengan
fasilitas belajar yang baik, dan oleh karena itu memiliki peluang lebih besar
untuk berprestasi. Lain halnya dengan sekolah-sekolah di pinggiran, pedesaan,
apalagi daerah pedalaman. Bagaimana mungkin siswa-siswa yang sangat beragam ini
diukur prestasi akademik dan kelulusannya dengan standard yang sama? Sungguh
tidak adil!
Sebuah penelitian lain di Amerika
Serikat yang secara langsung berkaitan dengan hasil studi McDonnell,
McLaughlin, and Morison (1997) di atas dilakukan oleh Lomax, Richard G, West,
Mary Maxwell, Harmon, Maryellen C, Viator, Katherine A, Madaus, George F.
(1995), yang menyebutkan bahwa ujian yang distandardkan merugikan dan
mengabaikan siswa minoritas yang mempunyai keterbatasan ekonomi dan akses
terhadap pendidikan sebab ujian yang distandardkan selalu merefleksikan kultur
mayoritas. Akibatnya, hasil ujian mereka tidak bisa dianggap sebagai
representasi yang adil dan memadai dari apa yang sungguh-sungguh mereka ketahui
dan mampu lakukan.
Lebih jauh, mengutip Smith dan
Rottenberg (1991), Lomax dan kawan-kawan menyebutkan dalam bagian introduksi
laporan penelitian mereka 3 dampak serius ujian yang distandardkan dan
tersentralisasi: 1) berkurangnya waktu untuk pengajaran, 2) diabaikannya materi
kurikulum yang tidak diujikan, dan 3) meningkatnya pemakaian materi persiapan
yang mirip dengan tes.
Tiga kesimpulan riset di atas
persis sama dengan apa yang diungkapkan Yong Zhao dalam artikelnya itu. Akibat
yang bisa diduga dari praktik ruang kelas semacam itu adalah menyempitnya
kurikulum sebab materi-materi yang seharusnya diajarkan tidak diberikan kepada
siswa karena materi-materi itu tak banyak keluar di ujian. Orientasi mengajar
guru berubah. Kelas yang mestinya menjadi ajang pencerdasan dan tempat untuk
mengajarkan keterampilan berpikir berubah menjadi tempat pelatihan menghadapi
tes tak ubahnya lembaga bimbingan tes.
Melengkapi temuan Yong Zhao di
Cina serta hasil riset para ahli pendidikan Amerika Serikat, hasil studi yang
dilakukan Iwan Syahril, seorang mahasiswa pasca sarjana di Teachers College,
Universitas Columbia pada tahun 2007 menyebutkan dampak-dampak buruk UAN di
Indonesia terhadap siswa dan guru. Pertama, siswa menderita masalah psikologis
yang serius. Banyak siswa mengalami kecemasan saat ujian, dan banyak yang
merasa frustasi karena gagal ujian. Kondisi psikologis siswa saat menempuh
ujian tidaklah sama satu dengan yang lain. Kecemasan tentunya mempengaruhi
performa peserta ujian, yang pada gilirannya berimbas pada hasil ujian. Tekanan
psikologis inilah yang rupanya tidak diperhitungkan oleh penyelenggara ujian
nasional. Ujian yang distandardkan, menurut Iwan Syahril mengutip Oak dan
Lipton (2007), selalu mengasumsikan bahwa peserta ujian mengerjakan tes di
bawah kondisi yang sama. Siapa bisa menjamin para peserta berada dalam kondisi
psikologis yang sama? Bahkan beberapa siswa yang biasanya menduduki rangking
atas di sekolah mereka mengalami tekanan psikologis yang berat dan mengalami
kegagalan (Iwan Syahril, 2007). Temuan Iwan Syahril ini sama dengan yang
diungkapkan oleh Michael Phillips (2007) bahwa tes yang distandardkan
menyebabkan kecemasan pada peserta ujian.
Kedua, guru kehilangan energi
kreatif mereka dalam mengajar. Guru-guru merasa bahwa tidak ada gunanya
merancang pengajaran kreatif dan inovatif karena materi itu tidak akan
diujikan. Hasil studi ini persis sama dengan hasil penelitian Smith dan
Rottenberg (1991) di atas. Akibatnya, guru mengajar semata-mata demi tes.
Materi yang diajarkan hanya materi yang keluar di ujian. Lalu, apa yang bisa
diharapkan dari proses belajar–mengajar yang salah semacam ini? Tujuan
pendidikan tidak sesempit itu.
Dalam konteks inilah pemerintah
terkesan tidak konsisten dengan kebijakan pendidikan nasionalnya sendiri. Di
satu sisi, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang berlaku sekarang
sebenarnya memberi ruang gerak yang lebih luas bagi guru untuk merancang
kegiatan-kegiatan pembelajaran yang kreatif dan atraktif, memberi kesempatan
kepada guru untuk mengajarkan keterampilan berpikir tingkat tinggi, dan
mengembangkan model pendidikan yang lebih holistik. Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional tahun 2003 bab II pasal 3 dengan tegas menyatakan bahwa
pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Artinya, undang-undang menghendaki agar pendidikan
sungguh-sungguh mampu membekali siswa dengan kecerdasan intelektual, spiritual,
dan emosi. Akan tetapi, di sisi lain, pemerintah secara tidak sadar telah
menghambat tujuan pendidikan yang mulia tersebut melalui pemberlakuan ujian
yang distandardkan dan tersentralisasi itu. Kalau akhirnya nasib siswa
ditentukan hanya oleh ujian tiga hari dan pada saat yang sama reputasi sekolah
dipertaruhkan, adalah masuk akal jika guru lalu berpikir, untuk apa repot-repot
mempersiapkan kegiatan pembelajaran yang kreatif dan atraktif? Bukankah
latihan-latihan soal pilihan ganda lebih bermanfaat untuk masa depan mereka?
Disadari atau tidak, ujian
nasional telah menyebabkan guru dan seluruh komunitas sekolah mengarahkan
perhatian mereka pada ujian penentu kelulusan itu. Lalu, praktik-praktik
keseharian di sekolah dan di ruang kelas akan mengikuti arah ini. Di sekolah
tempat penulis mengajar, misalnya, ada kewajiban bagi guru untuk menyertakan
soal pilihan ganda sebesar 40% pada ujian semester maupun tengah semester dengan
alasan agar siswa terbiasa mengerjakan tes pilihan ganda dalam ujian nasional.
Masalahnya, tidak semua kompetensi dasar (KD) dalam tiap mata pelajaran bisa
diujikan dengan model soal seperti itu. Tidak menutup kemungkinan
praktik-praktik serupa juga terjadi di sekolah-sekolah lain.
Persoalannya adalah, apakah siswa
giat belajar sekadar karena takut gagal ujian, atau karena secara sadar ingin
berkembang secara intelektual? Apakah guru giat mengajar karena khawatir banyak
siswanya tidak lulus ujian, sehingga mengancam reputasi karir dan sekolahnya,
atau karena secara sadar ingin mengoptimalkan potensi intelektual
siswa-siswanya? Apakah layak disebut belajar kalau yang dikerjakan hanya
menghafal materi dan berlatih menjawab soal-soal? Apakah pantas disebut
mengajar jika yang dilakukan guru hanya memberi soal-soal latihan pilihan
ganda?
Temuan Yong Zhao (2007), Iwan
Syahril (2007), maupun Smith dan Rottenberg (1991) menegaskan bahwa ujian yang
distandardkan hanya menghasilkan siswa dan guru paranoid yang takut dan cemas
menghadapi ujian. Ujian yang distandardkan menghasilkan siswa yang giat belajar
atau guru yang giat mengajar semata-mata demi nilai.
Kecurangan-kecurangan yang terjadi di beberapa daerah selama pelaksanaan
UAN juga menjadi indikasi bahwa ujian yang distandardkan dan tersentralisasi
telah menyebabkan siswa dan guru melupakan tujuan hakiki pendidikan. Pendidikan
telah diperlakukan tak ubahnya seperti kegiatan mekanis untuk mencapai tujuan
jangka pendek. Bukankah pendidikan semestinya diarahkan untuk mewujudkan
cita-cita idealnya, yakni menghasilkan pribadi-pribadi yang utuh dan seimbang
secara intelektual, emosional, dan sosial, sebagaimana diamanatkan
undang-undang, dan bukan semata-mata demi skor UAN?
Mempertimbangkan dampak-dampak
serius dari penerapan ujian nasional sebagaimana diuraikan di atas, dan
bercermin pada pemerintah Cina, pemerintah Indonesia seyogyanya
mempertimbangkan kembali kebijakan untuk menerapkan UAN sebagai alat penentu
kelulusan siswa, setidaknya untuk tahun depan karena beberapa alasan. Pertama,
UAN telah menyeret siswa dan guru kepada praktik-praktik yang mereduksi makna
hakiki pendidikan. Kedua, UAN justru menghambat pencapaian cita-cita luhur
pendidikan untuk menghasilkan pribadi-pribadi yang utuh dan seimbang. Ketiga,
ujian yang distandardkan dan tersentralisasi melanggar prinsip keadilan.
Pencapaian belajar siswa selama tiga tahun telah dinilai dan diukur dengan tes
yang hanya berlangsung selama tiga hari. Apalagi, UAN telah dipakai untuk
menentukan kelulusan siswa. Keempat, penentu kebijakan negeri ini telah
mengabaikan keberagaman sekolah-sekolah dan siswa-siswanya di Indonesia dalam
hal fasilitas, akses terhadap sumber belajar, dan sumber daya manusia.
Keputusan pemerintah Cina
menyerahkan penyelenggaraan ujian kelulusan kepada sekolah patut ditiru. Yang
berhak menguji siswa adalah sekolah sendiri sebagai satu-satunya lembaga yang
tahu betul konteks siswa yang diasuhnya. Artinya, sekolah tahu kemampuan
siswa-siswanya, muatan akademis mereka, latar belakang keluarga dan ekonomi
mereka, serta seberapa dalam kompetensi tertentu telah dikuasai siswa.
Penyelenggara ujian nasional tidak pernah bertemu dengan para siswa, apalagi
mengajar mereka, dan oleh karena itu tidak berhak menguji dan menentukan
kelulusan mereka.
Asumsi pemerintah yang menyatakan
bahwa UAN akan mendorong siswa dan guru bekerja lebih giat sehingga berprestasi
lebih baik sungguh tidak bisa diterima. Apakah betul ada korelasi positif
antara pemberlakuan ujian yang distandardkan secara nasional dengan prestasi
siswa? Sebuah studi yang dilakukan Sharon L. Nicols, Gene V. Glass, dan David
C. Berliner terhadap data tes NAEP (the National Assessment of Educational
Progress) di 25 negara bagian di Amerika Serikat (Techniques, 2006)
justru menyangkal premis tersebut, sebab hasil studi tersebut tidak menemukan
bukti kuat yang menunjukkan bahwa tekanan ujian yang dipakai untuk mengukur
keberhasilan siswa dan sekolah benar-benar meningkatkan prestasi belajar siswa.
Artinya, ujian nasional bukanlah faktor penting yang secara signifikan mampu
mendorong siswa untuk berprestasi.
Ujian yang distandardkan
seyogyanya digunakan hanya sebagai alat evaluasi (Michael Phillips, 2007), dan
bukan sebagai alat penentu kelulusan. Pemerintah mengatakan bahwa salah satu
fungsi ujian nasional adalah untuk memetakan kualitas pendidikan di Indonesia,
dan menjamin mutu pendidikan nasional. Fungsi inilah yang mestinya lebih
ditekankan. Pemerintah bisa membuat kebijakan-kebijakan maupun program-program
pendidikan yang didasarkan pada hasil pemetaan tersebut. Apabila fungsi ini
berjalan dengan baik, niscaya peringkat pendidikan Indonesia tidak akan berada
di posisi paling bawah di ASEAN.
0 Response to "DAMPAK YANG TERJADI DARI PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL TERHADAP SISWA, GURU, DAN SEKOLAH"
Posting Komentar