loading...

KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL (KKM) SISWA ITU DIHITUNG BUKANNYA DITEBAK.



KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL (KKM) SISWA ITU DIHITUNG BUKANNYA DITEBAK.

Pengertian KKM
Definisi dari KKM adalah acuan atau pedoman dasar dalam menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik. KKM ditetapkan pada awal tahun pelajaran oleh forum MGMP sekolah, KKM dinyatakan dalam bentuk bilangan bulat dengan rentang 0 s.d. 100. Nilai KKM ini nantinya akan bersanding dengan nilai akhir semester siswa pada rapor. Bagaimana KKM dibuat? KKM dibuat dengan cara menghitung yang tentunya tidak mudah namun juga tidak terlalu sulit jika kita mengetahui rambu-rambunya. Nilai KKM diambil dari penilaian terhadap kompleksitas materi, daya dukung pembelajaran, serta intake (kemampuan) siswa. Kesemuanya diramu dari tingkat indikator, kompetensi dasar, standar kompetensi, hingga jadilah KKM mata pelajaran yang tertera di rapor siswa.
Penentuan KKM Harus Melalui Perhitungan
Perhitungan KKM haruslah benar-benar objektif sesuai dengan kondisi pembelajaran di sekolah karena KKM juga berkaitan dengan standar evaluasi yang digunakan. Jadi, tak bisa KKM didapat dengan cara ditebak, sesuai kehendak guru, atau atas dasar permintaan Kepala Sekolah. Misalkan karena sekolahnya favorit maka KKM-nya harus diatas 80 pada setiap mata pelajaran. Padahal secara penilaian sesungguhnya (perhitungan) bisa saja tidak sampai 80. Misalnya mungkin kompleksitas materi yang dipelajari dianggap sangat mudah sehingga diperkirakan siswa dapat mencapai nilai di atas 80. Namun pada kenyataannya daya dukung serta intake siswa tak sesuai untuk mencapai nilai 80 sehingga wajar jika ternyata KKM yang di “tebak” ini akan menyulitkan siswa untuk mencapai nilai minimal. Contoh lain adalah di sekolah favorit yang merasa daya dukung dari segi sarana dan prasarana dianggap memadai untuk nilai KKM sebesar 85. Namun ternyata pada semester tersebut kompleksitas materi yang dipelajari sangat tinggi. Apalagi di tambah adanya guru yang tidak kompeten. Jadilah siswa pun kesulitan mencapai nilai KKM tersebut.
KKM yang asal ‘tembak’ atau tidak dengan cara dihitung bisa disebabkan oleh dua faktor. Pertama, Kepala Sekolah dan/atau Guru enggan melakukan proses perhitungan KKM dikarenakan akan menambah pekerjaan baru disela-sela pekerjaan mereka. Kedua, Kepala Sekolah dan/atau Guru itu sendiri tak memahami cara menghitung KKM. Manakala guru tak faham KKM, maka akan timbul berbagai masalah terkait KKM ini. Berikut permasalahan-permasalahan yang mungkin akan timbul jika terjadi kesalahfahaman akan esensi dan pentingnya menghitung KKM, baik di tingkat guru, siswa, ataupun orang tua siswa.
1. Banyak siswa yang nilai ujiannya di bawah KKM
Kita pernah atau bahkan sering mendengar keluhan siswa yang kerap kali bercerita seperti ini “Waduh tadi ujiannya sulit sekali hampir semua teman sekelas nilainya di bawah KKM, hampir semuanya remedial. Yang nilainya di atas KKM cuma beberapa orang saja”. Uniknya siswa yang mengeluh seperti itu bahkan di dominasi siswa dari sekolah-sekolah unggulan baik swasta maupun negeri. Coba kita berfikir jernih KKM itu artinya Kriteria Ketuntasan Minimal. Istilah “minimal” artinya “yang paling kecil”. Jadi jika hampir semua siswa dalam satu kelas mendapat nilai di bawah “nilai minimal/yang paling kecil” bisa disimpulkan: (a) Siswanya satu sekolah memang kebanyakan tidak niat sekolah, (b) Nilai KKM-nya yang terlalu tinggi, (c) Guru mengajar dibawah standar yang seharusnya.
Jika penyebabnya adalah yang (a), kasihan sekali sekolah itu. Tapi rasanya tidak mungkin, karena banyak siswa yang mengeluh nilai ulangannya dibawah KKM ternyata adalah siswa yang rajin dan tidak bermasalah disekolahnya. Misalnya KKM-nya 85, nilai siswanya 83 dan karena masih di bawah KKM sehingga wajib untuk remedial. Padahal ketika saya dulu bersekolah nilai 83 itu sudah membanggakan. Apalagi kalau berkaitan dengan mata pelajaran matematika. Ternyata di zaman modern ini bisa saja nilai 83 tak punya arti karena ternyata masih dibawah kriteria minimal.
Jika penyebabnya yang (b), itu artinya makna KKM sudah berubah bukan lagi Kriteria Ketuntasan Minimal melainkan Kriteria Ketuntasan Maksimal. Karena nilai KKM ini terkadang dipaksakan, harus tinggi terutama di sekolah-sekolah favorit. Pokoknya harus 85 ke atas. Lalu apa gunanya jika KKM tinggi tetapi saat ujian hampir nilai kebanyakan siswa dalam satu kelas dibawah KKM dan akhirnya remedial. Terbongkarlah bahwa KKM di sekolah itu hanya ditebak saja untuk menaikkan gengsi. Padahal KKM yang tinggi seharusnya dibarengi dengan peningkatan daya dukung pembelajaran yang meliputi profesionalisme guru, kelengkapan sarana dan prasarana, serta manajemen sekolah. Selain itu harus melihat pula apakah intake siswa memang tinggi dan apakah kompleksitas materi yang diajarkan rendah sehingga siswa akan dengan mudah mempelajarinya. Namun KKM yang tinggi karena ditebak, terkadang tidak dibarengi peningkatan daya dukung. Apalagi intake siswa biasa-biasa saja serta kompleksitas materi sangat tinggi (sangat sulit). Siswa pun akhirnya limbung, tak bisa mencapai KKM yang diharapkan. Lalu apa yang didapat siswa? Omelan karena remedial serta anggapan bahwa dirinya ‘bodoh’ karena tak lulus KKM. Semua itu membuat siswa depresi, rendah diri, melunturkan kepercayaan diri. Ujung-ujungnya bahkan ada yang sampai berubah menjadi siswa pemalas padahal sebelumnya rajin. Hal ini terjadi karena kurangnya apresiasi terhadap kemampuan siswa tersebut. Padahal semuanya disebabkan manajemen pembelajaran yang carut-marut. Disebut carut-marut karena proses perhitungan KKM yang harusnya dihitung secara objektif sesuai rambu-rambunya berubah menjadi ajang tebak-tebakkan untuk menaikkan gengsi sekolah. Akhirnya siswalah yang jadi korban.
Dan terakhir jika penyebabnya yang (c), ini harus lekas dibenahi. Bisa saja nilai siswa di bawah KKM karena guru jarang masuk, tidak optimal dalam mengajar, enggan menggunakan media pembelajaran, dan malas membuat soal evaluasi sesuai standar KKM. Kasus yang paling sering ditemui adalah guru SMA yang memberikan ulangan harian dengan standar soal UN (Ujian Nasional) dan UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Nasional). Padahal saat pembelajaran di kelas guru hanya mengajar dan memberi contoh soal yang jauh di bawah standar UN dan UMPTN. Ada pula yang saat diproses pembelajaran otak anak hanya dilatih untuk memproses soal dengan tingkat kognitif C1 dan C2, sementara di ujian anak dipaksakan untuk memproses soal dengan tingkat kognitif C4 ke atas. Faktanya, ternyata soal ujian yang dibuat dengan standar UN dan UMPTN bukan karena guru ingin meningkatkan kemampuan siswa, namun dikarenakan guru malas membuat soal. Seperti kita tahu soal UN dan UMPTN banyak bertebaran di toko-toko buku. Di internet pun tinggal klik kita bisa download beragam tipe soal. Tinggal copy paste beres sekaligus dengan kunci jawabannya. Inilah yang kadang siswa menganggap soal ulangan harian tidak sesuai dengan apa yang dipelajari, materinya memang sama tapi tingkat kesulitannya terlampau tinggi. Akhirnya siswa pun tak sanggup mencapai KKM.
2. Nilai KKM di rapor sama untuk semua mata pelajaran
Jika anda punya anak, keponakan, tetangga atau karib kerabat yang masih bersekolah, lihatlah rapornya dengan seksama. Jika di rapor ternyata nilai KKM-nya sama untuk setiap mata pelajaran sudah dipastikan KKM-nya pasti ditebak atau dipaksakan. Misal dari pelajaran Pendidikan Agama, PKn, Matematika, IPA, IPS, Bahasa, Kesenian, sampai Olahraga nilai KKM-nya 70 semua bisa dipastikan KKM-nya ditebak. Pastinya kita tahu jika dihitung, komponen kompleksitas materi, daya dukung, dan intake siswa pasti berbeda untuk setiap mata pelajaran. Bahkan untuk setiap standar kompetensi dalam setiap mata pelajaran KKM nya bisa berbeda. Hal ini dikarenakan setiap indikator yang harus dicapai siswa dalam setiap standar kompetensi tak akan sama kompleksitas, daya dukung, dan intake siswanya. Jadi bagaimana KKM setiap pelajaran bisa sama persis? Nah perlu dipertanyakan proses perhitungan KKM-nya.
3. Menganggap KKM sama dengan nilai rata-rata
Banyak ditemui kasus guru tidak faham akan esensi KKM dan menyamakannya dengan nilai rata-rata. Jadi jika nilai rata-rata yang baik adalah yang tinggi, maka para guru yang salah faham ini beranggapan nilai KKM yang baik adalah yang paling tinggi. Padahal nilai KKM itu standar minimal alias nilai paling rendah yang harus dicapai siswa untuk menuntaskan proses belajarnya. Dan sekali lagi ditegaskan bahwa KKM dihitung secara objektif, bukan asal di tebak hanya untuk memuaskan gengsi semata. Tak perlu disamakan dengan nilai rata-rata karena KKM itu tak perlu terlalu tinggi tapi juga jangan sampai terlalu rendah. Yang penting ideal artinya dapat dilampaui hampir semua siswa. KKM yang ideal sangat bermanfaat untuk menganalisis ketidakmampuan siswa dalam menuntaskan proses pembelajarannya. Siswa yang tidak mampu ini nanti akan kita bina kembali untuk menuntaskan syarat minimal indikator yang dapat diraih sesuai kemampuannya. Karena tak semua siswa adalah manusia yang berbakat di setiap bidang pelajaran tapi tetap harus ada standar minimal agar mereka dapat menuntaskan pembelajaran. Dan standar minimalnya itu - KKM-nya - tidak perlu terlalu tinggi karena itu sama saja memaksa siswa untuk jenius di segala bidang yang mana merupakan kemustahilan baku dalam dunia pendidikan.
Orang tua pun kadang salah faham karena saat pengambilan rapor tak mendapatkan penjelasan mengenai KKM atau sudah dijelaskan tapi tak peduli. Jika nilai KKM-nya 80 dan anaknya mendapat nilai 80, orang tua berbesar hati. Padahal jika KKM 80 dan nilai siswa 80, itu hanya pas KKM, bisa saja karena anaknya remedial berkali-kali, atau karena KKM-nya asal tembak sehingga anak seperti apapun dipaksa agar nilainya 80. Tapi yang lebih miris saat KKM-nya 60 dan anaknya mendapat nilai 75, orang tua merasa sangat terpukul karena anaknya hanya bisa dapat nilai 75. Padahal nilai 75 itu kan sudah jauh dari KKM dan mungkin saja KKM-nya benar-benar dihitung berdasarkan kompleksitas mata pelajaran yang harus dipelajari anak. Justru harusnya orang tua berbangga.
Itulah sekelumit permasalahan terkait dengan KKM. Ternyata jika kita tinjau lebih jauh masih banyak sekolah-sekolah yang kurang bijak dalam mengatur proses adanya KKM pada rapor siswa. Yang paling menyedihkan adalah jika siswa akhirnya harus menjadi korban dikarenakan kurang fahamnya guru akan esensi dari KKM yang sesungguhnya. Marilah kita berdo’a semoga para guru yang menuliskan KKM di rapor siswa dengan ditebak lekas bertaubat dan berupaya untuk menghitungnya. Juga kita berdo’a agar sistem pendidikan tak lekas berganti-ganti lagi yang hanya akan membuat guru tidak bisa mengembangkan profesionalismenya dalam mengelola perangkat pembelajaran. Maju terus sistem pendidikan Indonesia!

0 Response to "KRITERIA KETUNTASAN MINIMAL (KKM) SISWA ITU DIHITUNG BUKANNYA DITEBAK."

Posting Komentar