BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara multikultur terbesar di dunia. Kenyataan
ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Keragaman ini
diakui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti korupsi,
kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme,
dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, merupakan
bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturisme tersebut.
Berbagai masalah yang timbul yang kompleksitasnya cenderung
berujung konflik, banyak dikarenakan adanya keberagaman budaya yang memang pada
dasarnya Indonesia adalah negara yang tediri dari berbagai latar belakang
sosial budaya meliputi ras, suku, agama, status sosial, mata pencaharian dan
lain-lain sehingga bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai
masyarakat "multikultur". Tetapi pada pihak lain, realitas
"multikultur" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk
merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat
menjadi integrating force yang
mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.
Wajah multikultural
di negeri ini
hingga kini ibarat
api dalam sekam,
yang suatu saat
bisa muncul akibat suhu
politik, agama, sosial
budaya yang memanas,
yang memungkinkan konflik tersebut muncul
kembali. Tentu penyebab
konflik banyak sekali
tetapi kebanyakan disebabkan oleh
perbedaan politik, suku, agama, ras, etnis dan budaya. Beberapa kasus yang pernah
terjadi di tanah
air yang melibatkan
kelompok masyarakat, mahasiswa bahkan pelajar
karena perbedaan pandangan
sosial politik atau
perbedaan SARA tersebut.
Berbagai masalah yang timbul itulah yang akhirnya menjadi
konflik berkepanjangan dan tidak bisa menemui titik terang atau jalan keluar
untuk masalah yang menyangkut sosial budaya. Untuk itu diperlukan strategi
khusus untuk memecahkan persoalan tersebut melalui berbagai bidang; sosial,
ekonomi, budaya, dan pendidikan. Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan
multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep
pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat,
khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama,
status sosial, gender, kemampuan, umur, dan lain-lain.
Dari paparan di atas agar dapat memberi dorongan dan spirit
bagi lembaga pendidikan nasional terutama institusi-institusi pendidikan yang
ada di dalamnya untuk mau menanamkan sikap kepada siswa untuk menghargai orang,
budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan
yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan
menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat
penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah atau
institusi-institusi pendidikan akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran
bagi generasi muda (siswa) untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis
dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Selain itu juga agar siswa memiliki kepekaan
dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada
perbedaan kerena suku, ras, agama dan tata nilai yang terjadi pada lingkungan
masyarakatnya. Hal ini dapat
diimplementasi baik pada substansi maupun model
pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan
permasalahan-permasalahan yang telah dikemukakan hingga krisis ekonomi yang
berimbas menjadi krisis multidimensi, menyadarkan kita akan pentingnya modal
sosial. Modal sosial merupakan energi kolektif masyarakat yang berupa
kebersamaan, solidaritas, kerjasama, tolerasi, kepercayaan, dan tanggung jawab
tiap anggota masyarakat dalam memainkan setiap peran yang diamanahkan. Bila
energi kolektif hancur maka hancur pulalah keharmonisan, keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan dalam masyarakat.
Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek
suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa
terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Kondisi yang demikian
memungkinkan terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan
nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kasus Ambon, Sampit, konflik antara
FPI dan kelompok Achmadiyah, konflik yang tiada henti di Papua, tawuran antar
pelajar dan sebagainya telah menyadarkan kepada kita bahwa kalau hal ini terus
dibiarkan maka sangat memungkinkan untuk terciptanya disintegrasi bangsa.
Perkembangan masyarakat yang
sangat dinamis serta masalah-masalah sosial yang dewasa ini terus berkembang
membutuhkan perhatian dan kepekaan dari seluruh elemen bangsa tidak hanya dari
para pakar dan pemerhati masalah sosial namun juga dunia pendidikan yang punya
peran sangat strategis sebagai wahana dan agent of change bagi
masyarakat. Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek
suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa
terhadap perkembangan dan dinamika dalam masyarakat. Implementasi pendidikan
multikultur dipandang
penting untuk memberikan pembekalan dan membantu perkembangan wawasan pemikiran
dan kepribadian serta melatih kepekaan siswa dalam menghadapi gejala-gejala dan
masalah-masalah sosial yang terjadi pada lingkungan masyarakatnya.
C.
Tujuan Penulisan
Secara generik, pendidikan multikultur memang sebuah konsep yang
dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa
yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu
tujuan penting dari konsep pendidikan multikultur adalah untuk membantu semua siswa
agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam
menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi pluralistik
serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga
dari kelompok beragam.
Tujuan penulisan ini secara umum adalah untuk
menyadarkan kepada kita semua betapa pentingnya implementasi
pendidikan multikultur agar terciptanya sebuah harmoni sosial dengan tatanan
masyarakat yang bermoral dan berjalan untuk kebaikan bersama.
Adapun tujuan penulisan ini secara spesifik adalah untuk menjelaskan
sejauh mana implementasi pendidikan multikultur tersebut pada institusi pendidikan
baik di dalam bidang kurikulum, kesiswaan maupun di dalam proses pembelajaran.
D.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Perjalanan
Multikulturisme dan Wacana Pendidikan Multikultur
Konsep pendidikan multikultur di negara-negara yang menganut konsep
demokratis seperti Amerika Serikat (AS) dan Kanada, bukan hal baru lagi. Mereka
telah melaksanakannya khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial
antara orang kulit pulit dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan
memelihara integritas nasional di
negaranya (Muhaemin, 2004).
Di Amerika, sebagai contohnya muncul serangkaian konsep tentang
pluralitas yang berbeda-beda, mulai dari melting
pot sampai multikulturisme. Sejak Columbus menemukan benua Amerika,
berbagai macam bangsa telah menempati benua itu. Penduduk yang sudah berada di
sana sebelum bangsa-bangsa Eropa membentuk koloni-koloni mereka di Amerika
Utara, terdiri dari berbagai macam suku yang berbeda-beda bahasa dan budayanya.
Tetapi di mata bangsa Anglo Sakson yang menyebarkan koloni di abad ke-17, tanah
di Negara baru itu ada kawasan tak bertuan dan bangsa-bangsa yang ditemui di
benua baru itu tak lebih dari makhluk primitif yang merupakan bagian dari alam
yang mesti ditaklukkan. Dari perspektif kaum Puritan yang menjadi acuan utama
sebagian besar pendatang dari Inggris tersebut, berbagai suku bangsa yang
dilabel secara generik dengan nama "Indian" adalah bangsa kafir
pemuja dewa yang membahayakan kehidupan komunitas berbasis agama tersebut. Di
sini terlihat bagaimana pandangan berperspektif tunggal yang datang dari budaya
tertentu membutakan mata terhadap kenyataan keragaman yang ada (Muhaemin, 2004).
Amerika Serikat ketika ingin membentuk masyarakat baru pasca
kemerdekaannya (4 Juli 1776) baru disadari bahwa masyarakatnya terdiri dari
berbagai ras dan asal negara yang berbeda. Oleh karena itu, dalam hal ini
Amerika mencoba mencari terobosan baru yaitu dengan menempuh strategi
menjadikan sekolah sebagai pusat sosialisasi dan pembudayaan nilai-nilai baru
yang dicita-citakan. Melalui pendekatan inilah, dari SD sampai Perguruan
Tinggi, Amerika Serikat berhasil membentuk bangsanya yang dalam perkembangannya
melampaui masyarakat induknya yaitu Eropa. Kaitannya dengan nilai-nilai
kebudayaan yang perlu diwariskan dan dikembangkan melalui sistem pendidikan
pada suatu masyarakat, maka Amerika Serikat memakai sistem demokrasi dalam
pendidikan yang dipelopori oleh John Dewey. Intinya adalah toleransi tidak
hanya diperuntukkan untuk kepentingan bersama akan tetapi juga menghargai
kepercayaan dan berinteraksi dengan anggota masyarakat (Muhaemin, 2004).
Tahun 1980-an dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang
berlandaskan pendidikan multikultur yang didirikan oleh para peneliti dan
aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari
pendidikan multikultur. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultur
menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul
kelompok sarjana, di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan
Sonia Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultur,
memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan
menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial (Muhaemin, 2004).
Didorong oleh tuntutan warga Amerika keturunan Afrika,
Latin/Hispanic, warga pribumi dan kelompok marjinal lain terhadap persamaan
kesempatan pendidikan serta didorong oleh usaha komunitas pendidikan
profesional untuk memberikan solusi terhadap masalah pertentangan ras dan
rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan multikultur
sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama dua dekade konsep
pendidikan multikultur menjadi slogan yang sangat populer di sekolah-sekolah
AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting dalam mengembangkan
toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari kelompok etnis yang
beraneka macam di negara ini.
Ide pendidikan multikulturisme akhirnya menjadi komitmen global
sebagaimana direkomendasi UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi
itu di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya
mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam
kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan
kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain.
Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi
gagasan dan penyelesaian-penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan
dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya
meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan.
Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam
diri diri pikiran siswa sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara
lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan
memelihara.
Konsep pendidikan multikultur dalam perjalanannya menyebar luas ke
kawasan di luar AS, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis,
ras, agama dan budaya seperti Indonesia. Sekarang ini, pendidikan multikultur
secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi
pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan
untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.
Wacana multikulturisme untuk konteks di Indonesia menemukan
momentumnya ketika sistem nasional yang otoriter militeristik tumbang seiring
dengan jatuhnya rezim Soeharto. Saat itu, keadaan negara menjadi kacau balau
dengan berbagai konflik antar suku bangsa dan antar golongan, yang menimbulkan
keterkejutan dan kengerian para anggota masyarakat. Kondisi yang demikian
membuat berbagai pihak semakin mempertanyakan kembali sistem nasional seperti
apa yang cocok bagi Indonesia yang sedang berubah, serta sistem apa yang bisa
membuat masyarakat Indonesia bisa hidup damai dengan meminimalisir potensi
konflik.
Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan (2002), multikulturisme adalah
konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman dengan alasan
multikulturisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya,
atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya
sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturisme akan menjadi pengikat dan
jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan
kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultur. Perbedaan itu
dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem
nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan
sosial.
B.
Kajian Teoritis
Pendidikan multikultur
sebagai sebuah konsep atau pemikiran tidak muncul dalam ruangan kosong, namun
ada interes politik, sosial, ekonomi dan intelektual yang mendorong
kemunculannya. Wacana pendidikan multikultur pada awalnya sangat bias Amerika
karena punya akar sejarah dengan gerakan hak asasi manusia (HAM) dari berbagai
kelompok yang tertindas di negeri tersebut. Banyak lacakan sejarah atau
asal-usul pendidikan multikultur yang merujuk pada gerakan sosial Orang Amerika
keturunan Afrika dan kelompok kulit berwarna lain yang mengalami praktik
diskrinunasi di lembaga-lembaga publik pada masa perjuangan hak asasi pada
tahun 1960-an. Di antara lembaga yang secara khusus disorot karena bermusuhan
dengan ide persamaan ras pada saat itu adalah lembaga pendidikan. Pada akhir
1960-an dan awal 1970-an, suara-suara yang menuntut lembaga-lembaga pendidikan
agar konsisten dalam menerima dan menghargai perbedaan semakin kencang, yang
dikumandangkan oleh para aktivis, para tokoh dan orang tua. Mereka menuntut
adanya persamaan kesempatan di bidang pekerjaan dan pendidikan. Momentum inilah
yang dianggap sebagai awal mula dari konseptualisasi pendidikan multikultur.
Multikulturisme juga secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada.
Menurut Longer Oxford Dictionary istilah multiculturalism
merupakan deviasi dari kata "multicultural" Kamus ini menyitir
kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang menggambarkan masyarakat
Montreal sebagai masyarakat multicultural
dan multi-lingual.
Sedangkan secara sederhana pendidikan multikultur dapat didefenisikan sebagai
pendidikan tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan
kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire (2000) dalam Muhaemin
(2004), pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha
menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu
menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah
masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagi akibat kekayaan dan
kemakmuran yang dialaminya.
Pendidikan multikultur (multicultural
education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi
sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi
lain, pendidikan multikultur merupakan pengembangan kurikulum dan aktivitas
pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian
terhadap orang-orang non Eropa (Hilliard, 1991-1992). Sedangkan secara luas
pendidikan multikultur itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan
kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan
agama.
Selanjutnya James Banks (1993) menjelaskan bahwa pendidikan
multikultur memiliki lima dimensi yang saling berkaitan, yaitu :
1.
Content integration
Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk
mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata
pelajaran/disiplin ilmu.
2.
The Knowledge Construction Process
Membawa
siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin).
3.
An Equity Paedagogy
Menyesuaikan
metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi
akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial.
4.
Prejudice Reduction
Mengidentifikasi
karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.
5.
Exercise
Melatih
kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan
seluruh staf dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan
budaya akademik.
Dalam aktifitas pendidikan manapun, siswa merupakan sasaran (obyek)
dan sekaligus sebagai subyek pendidikan. Oleh sebab itu dalam memahami hakikat siswa,
para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum siswa.
Setidaknya secara umum siswa memiliki lima ciri, yaitu :
1.
Siswa dalan keadaan sedang
berdaya, maksudnya ia dalam keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan,
kemauan dan sebagainya;
2.
Mempunyai keinginan untuk
berkembang ke arah dewasa.
3.
Siswa mempunyai latar belakang
yang berbeda.
4.
Siswa melakukan penjelajahan
terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara
individu.
Menurut Tilaar (2002), pendidikan multikultur berawal dari
berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang "interkulturalisme"
seusai perang dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran
"interkulturalisme" ini selain terkait dengan perkembangan politik
internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi
rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara
Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru
merdeka ke Amerika dan Eropa.
Mengenai fokus pendidikan multikultur, Tilaar mengungkapkan bahwa
dalam program pendidikan multikultur, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata
kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada
pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi
individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya
mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari
kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultur sebenarnya merupakan sikap
"peduli" dan mau mengerti akan
perbedaan (accepted difference), atau "politics of
recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok
minoritas.
Dalam konteks itu, pendidikan multikultur melihat masyarakat secara
lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap "indiference" dan "non-recognition" tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi
paradigma pendidikan multikultur mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan
keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial,
budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang
“ethnic studies" untuk
kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat
dasar sampai perguruan tinggi. Dengan
demikian dapat tercapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok
minoritas dan disadvantaged.
Istilah "pendidikan multikultur" dapat digunakan baik pada
tingkat deskriptif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah
pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultur. Lebih jauh ia juga
mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan
strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultur. Dalam konteks deskriptif ini, maka kurikulum
pendidikan multikultur mestilah mencakup subjek-subjek seperti: toleransi, tema-tema tentang
perbedaan ethno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi, penyelesaian konflik dan mediasi, HAM, demokratis dan pluralitas, kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang
relevan.
Dalam konteks teoritis, belajar dari model-model pendidikan
multikultur yang pernah ada dan sedang dikembangkan oleh negara-negara maju,
dikenal lima pendekatan, yaitu: pertama, pendidikan mengenai
perbedaan-perbedaan kebudayaan atau multikulturisme. Kedua, pendidikan mengenai
perbedaan-perbedaan kebudayaan atau pemahaman kebudayaan. Ketiga, pendidikan
bagi pluralisme kebudayaan. Keempat pendidikan dwi-budaya. Kelima, pendidikan
multikultur sebagai pengalaman moral manusia.
Pendidikan multikultur mengakui adanya keragaman etnik dan budaya
masyarakat suatu bangsa, sebagaimana dikatakan R. Stavenhagen (1996):
Religious,
linguistic, and national minoritas, as well as indigenous and tribal peoples
were often subordinated, sometimes forcefully and against their will, to the
interest of the state and the dominant society. While many people had
to discard their own cultures, languages, religions and traditions, and adapt
to the alien norms and customs that were consolidated and reproduced through
national institutions, including the educational and legal system.
Pendidikan Multibudaya dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Kuper,
2000) dimulai sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan
hak-hak kaum sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an.
Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolah negeri
dan peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas
lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan
tingkat kegagalan dan putus sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa
orang berpendapat bahwa murid-murid tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya
yang memadai untuk mencapai keberhasilan akademik.
Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam
empat fase. Yang pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis
pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis
sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi
keseluruhan sistem pendidikan. Yang ketiga, kelompok-kelompok marginal yang
lain, seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut
perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Fase keempat
perkembangan teori, triset dan praktek, perhatian pada hubungan antar-ras,
kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli
teoritisi, jika bukan para praktisi, dari pendidikan multibudaya. Gerakan
reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan lembaga-lembaga
pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apapun ras atau etnis,
kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan menikmati
kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan.
Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan
untuk sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan
ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting
bagi semua murid; yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan
sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi
keadilan sosial; yang merupakan proses dimana pengajar dan murid bersama-sama
mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan
menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang memberi perhatian pada bangun
pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan ketrampilan dalam
membuat keputusan dan tindakan sosial.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Perspektif Pendidikan Multikultural Indonesia
Di Indonesia walaupun
masih seputar wacana, pendidikan multikultur relatif baru
dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap perlu bagi masyarakat Indonesia
yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru
dilakukan. Pendidikan multikultur yang dikembangkan di Indonesia sejalan
pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan
menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional.
Menurut Azyumardi Azra, pada level nasional, berakhirnya sentralisme
kekuasan yang pada masa orde baru memaksakan "monokulturalisme" yang
nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang bukan tidak mengandung
implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang
multikultur. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan dan desentralisasi
kekuasaan pemerintahan, terjadi peningkatan gejala "provinsialisme"
yang hampir tumpang tindih dengan "etnisitas". Kecenderungan ini,
jika tidak terkendali akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi
sosio-kultural yang amat parah, tetapi juga disintegrasi politik.
Model pendidikan di Indonesia maupun di negara-negara lain
menunjukkan keragaman tujuan yang menerapkan strategi dan sarana yang dipakai
untuk mencapainya. Penambahan informasi tentang keragaman budaya merupakan
model pendidikan multikultur yang mencakup revisi atau materi pembelajara dan
termasuk revisi buku-buku teks. Walaupun
belum diterima, usaha ini sudah mulai membuka mata sebagian masyarakat akan
pentingnya perspektif baru tentang perang, agar tragedi kemanusiaan tidak terulang kembali. Sedangkan di
Indonesia masih diperlukan usaha yang panjang dalam merevisi buku-buku teks
agar mengakomodasi kontribusi dan partisipasi yang lebih inklusif bagi warga
dari berbagai latarbelakang dalam pembentukan Indonesia. Indonesia juga
memerlukan pula materi pembelajaran yang bisa mengatasi konflik berkepanjangan
di berbagai wilayah.
Model lainnya adalah pendidikan multikultur tidak sekedar merevisi
materi pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu
sendiri seperti yang diungkapkan Muhaemin (2004). Affirmative action dalam seleksi siswa sampai rekrutmen pengajar di
Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpangan
struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model
"sekolah pembauran" Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi
interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyusun program anak
asuh lintas kelompok juga dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakt
luas untuk meningkatkan kepekaan sosial, toleransi dan mengurangi prasangka
antar kelompok.
Untuk mewujudkan model-model tersebut, pendidikan multikultur di
Indonesia perlu memakai kombinasi model yang ada, agar seperti yang diajukan
Gorski (1980), pendidikan multikultur dapat mencakup tiga hal jenis
transformasi, yakni: (1) transformasi diri; (2) transformasi sekolah dan proses
belajar mengajar, dan (3) transformasi masyarakat.
Menyusun pendidikan multikultur dalam tatanan masyarakat yang penuh
permasalahan antara kelompok mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan
multikultur tidak berarti sebatas "merayakan keragaman" belaka.
Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat
rasis. Dapat pula dipertanyakan apakah mungkin meminta siswa yang dalam
kehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna
kulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisi
demikian pendidikan multikultur lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk
menciptakan masyarakat yang toleran dan bebas toleransi.
Implementasi pendidikan
yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan
menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat
penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium
pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya,
agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara
damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau
menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan
melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari
kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah
maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi
salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan
Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara
demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan,
nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
B.
Kebijakan Yang Diperlukan
Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan pendidikan
multikultur dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang
menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan
jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di
antaranya mencakup pakaian, musik, makanan kesukaan dan lain sebaginya yang
secara struktur memiliki perbedaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi
anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak
agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
Fenomena dalam masyarakat yang merupakan kumpulan
besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga
individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial.
Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir
yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi
komunitas. Disisi lain, apabila kehidupan di dalam masyarakat berinteraksi antara
individu dan lingkungan sosialnya, maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan
atau dengan istilah lain masyarakat pendidik.
Oleh karena itu, dalam melakukan kajian dasar kependidikan terhadap
masyarakat, diperlukan dasar-dasar sebagai berikut :
1.
Masyarakat tidak ada dengan
sendirinya. Masyarakat adalah ekstensi yang hidup, dinamis, dan selalu
berkembang.
2.
Masyarakat bergantung pada
upaya setiap individu untuk memenuhi kebutuhan melalui hubungan dengan individu
lain yang berupaya memenuhi kebutuhan.
3.
Individu-individu, di dalam
berinteraksi dan berupaya bersama guna memenuhi kebutuhan, melakukan penataan
terhadap upaya tersebut dengan jalan apa yang disebut tantangan sosial.
4.
Setiap masyarakat bertanggung
jawab atas pembentukan pola tingkah laku antara individu dan komunitas yang
membentuk masyarakat.
5.
Pertumbuhan individu di dalam
komunitas, keterikatan dengannya, dan perkembangannya di dalam bingkai yang menuntunnya
untuk bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya.
Bila penjelasan di atas ditarik di dalam dunia pendidikan, maka
masyarakat sangat besar peranan dan pengaruhnya terhadap perkembangan
intelektual dan kepribadian individu siswa. Sebab keberadaan masyarakat
merupakan laboratorium dan sumber makro yang penuh alternatif untuk memperkaya
pelaksanaan proses pendidikan.
Untuk itu, setiap anggota masyarakat memiliki peranan dan tanggung
jawab moral terhadap terlaksananya proses pendidikan. Hal ini disebabkan adanya
hubungan timbal balik antara masyarakat dan pendidikan. Dalam upaya
memberdayakan masyarakat dalam dunia pendidikan merupakan satu hal penting
untuk kemajuan pendidikan.
Memperhatikan uraian-uraian di atas, kebijakan-kebijakan yang perlu dilakukan dalam proses pendidikan multikultural, diantaranya:
Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atau pendidikan multikultural
dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai
pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa
tanggung jawab primer mengembangkan kompetensi kebudayaan di kalangan anak
didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang
bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan
pembelajaran informal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan
kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan
kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi
selama ini. secara tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya
dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus
menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih
kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan
dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk
melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut
identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih
besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai
kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu "kebudayaan
baru" biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang
sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya
untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis
terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas
solidaritas kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru.
Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan
secara logis.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam
beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh sejarah dan situasi kondisi lingkungan sekitar.
Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar
sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan.
Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau
dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat
membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan.
Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman
normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural
berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih
baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.
Dalam konteks keindonesiaan dan kebhinekaan, kelima kebijakan tersebut
haruslah diselaraskan dengan kondisi masyarakat Indonesia. Masyarakat adalah
kumpulan manusia atau individu-individu yang terjewantahkan dalam kelompok
sosial dengan suatu tantangan budaya atau tradisi tertentu. Pendapat ini juga
dikemukakan oleh Zakiah Darajat yang menyatakan, bahwa masyarakat secara
sederhana diartikan sebagai kumpulan individu dan kelompok yang diikat oleh
kesatuan negara, kebudayaan dan agama.
C.
Implementasi
Konsep Multikultural Pada Kurikulum Pendidikan
Indonesia sebagai
negara majemuk baik
dalam segi agama,
suku bangsa, golongan maupun budaya
lokal perlu menyusun
konsep pendidikan multikultural
sehingga menjadi pegangan untuk
memperkuat identitas nasional, Mata pelajaran Kewarganegaraan dan Agama yang
telah diajarkan di Sekolah Dasar
hingga perguruan tinggi,
disempurnakan dengan memasukan
pendidikan multikultural,
seperti budaya lokal
antar daerah kedalamnya,
agar generasi muda
bangga sebagai bangsa Indonesia yang selanjutnya dapat meningkatkan rasa
nasionalisme. Dengan demikian,
pendidikan multikultur adalah
pendidikan nilai yang
harus ditanamkan pada siswa
sebagai calon warga
negara, agar memiliki
persepsi dan sikap multikulturalistik, bisa
hidup berdampingan dalam
keragaman watak kultur,
agama dan bahasa, menghormati
hak setiap warga
negara tanpa membedakan
etnik mayoritas atau minoritas, dan
dapat bersama-sama membangun
kekuatan bangsa sehingga
diperhitungkan dalam percaturan global dan nation dignity yang
kuat.
Menurut Hamid Hasan
(2000), bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki keragaman sosial, budaya,
aspirasi politik dan kemampuan ekonomi.
Keragaman tersebut
berpengaruh langsung terhadap
kemampuan guru dalam
melaksanakan kurikulum, kemampuan sekolah
dalam menyediakan pengalaman
belajar dan kemampuan
siswa dalam berproses, belajar
dan mengolah informasi
menjadi sesuatu yang
dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar. Keragaman itu menjadi suatu
variabel bebas yang memiliki
kontribusi sangat signifikan
terhadap keberhasilan kurikulum,
baik sebagai proses maupun
sebagai hasil.
Oleh karena
itu, pengembangan kurikulum
dengan menggunakan pendekatan pengembangan multikultural
harus didasarkan pada
empat prinsip. Pertama, keragaman budaya menjadi dasar dalam
menentukan filsafat. Kedua, keragaman budaya dijadikan dasar dalam mengembangkan
berbagai komponen kurikulum,
seperti tujuan, konten,
proses, dan evaluasi. Ketiga,
budaya dilingkungan unit pendidikan dari mulai pendidikan tingkat dasar sampai
dengan perguruan tinggi sehingga sumber belajar dan objek studi harus
dijadikan bagian dari
kegiatan belajar siswa.
Keempat, kurikulum berperan sebagai media dalam mengembangkan
kebudayaan daerah dan nasional.
Implementasi pendidikan
multikultur pada jenjang
pendidikan dasar dan
menengah, dapat dilakukan secara komprehensif melalui pendidikan Kewarganegaraan
dan melalui Pendidikan Agama, dapat dilakukan
melalui pemberdayaan slot-slot
kurikulum atau penambahan
atau perluasan kompetensi hasil
belajar dalam konteks
pembinaan akhlak dan budi pekerti, memiliki intensitas untuk
membina dan mengembangkan
kerukunan hidup antar
umat beragama, dengan memberi
penekanan pada berbagai
kompetensi dasar sebagaimana
telah terpapar di atas.
Kemudian, juga harus
dilakukan dalam pendekatan
deduktif dengan kajian
yang relevan, kemudian dikembangkan
menjadi norma-norma keagamaan,
norma hukum, etik, maupun norma sosial
kemasyarakatan.
Pendidikan
multikultur melalui pendidikan
Kewarganegaran dan pendidikan Agama harus dilakukan
secara komprehensif, dimulai
dari design perencanaan
dan kurikulum melalui proses
penyisipan, pengayaan dan
atau penguatan terhadap
berbagai kompetensi yang telah
ada, mendesign proses
pembelajaran yang bisa
mengembangkan sikap siswa untuk
bisa menghormati hak-hak
orang lain, tanpa
membedakan latar belakang
ras, agama, bahasa dan
budaya. Dan terakhir
pendidikan hasil dan
pencapaian pendidikan multikultur harus dapat diukur melalui
evaluasi yang relevan, apakah melalui instrumen tes, non-tes atau melalui
proses pengamatan longitudinal dengan menggunakan portofolio siswa.
Sesuai dengan
kompetensi standar tersebut,
maka dapat dikembangkan
beberapa kompetensi dasar sebagai berikut:
1. Menjadi
warga negara yang
menerima dan menghargai
perbedaan-perbedaan etnik, agama,
bahasa dan budaya dalam struktur masyarakatnya.
2. Menjadi
waraga negara yang
bisa melakukan kerjasama
multi etnik, multi
kultur, dan multi religi dalam
konteks pengembangan ekonomi dan kekuatan bangsa.
3. Menjadi
warga negara yang
mampu menghormati hak-hak
individu warga negara
tanpa membedakan latar belakang etnik, agama, bahasa dan budaya dalam
semua sektor sosial, pendidikan,
ekonomi, politik dan
lainnya, bahkan untuk
memelihara bahasa dan mengembangkan budaya mereka.
4. Menjadi warga negara yang memberi peluang
pada semua warga negara untuk terwakili gagasan
dan aspirasinya dalam
lembaga-lembaga
pemerintahan, baik legislatif maupun eksekutif.
5. Menjadi
warga negara yang
mampu mengembangkan sikap
adil dan mengembangkan rasa keadilan
terhadap semua warga
negara tanpa membedakan
latar belakang etnik, agama, bahasa dan budaya mereka.
Dengan kompetensi-kompetensi dasar
tersebut, maka pembelajaran
multikultur diharapkan akan menghasilkan warga negara yang memiliki
sikap dan kebiasaan multikultur dengan
sikap dan prilaku
yang toleran antar
semua anak bangsa,
solider dan bisa
saling bekerjasama untuk kepentingan
bangsa, bersikap egaliter,
memiliki sikap empati
sesama warga, dan bersikap
adil dengan tidak
membedakan latar belakang
agama, ras, bahasa
dan warna kulit.
Sejalan dengan
konsepsi ini, John
Dewey (1964) merekomendasikan
tiga hal yang
harus dipertimbangkan dalam mengembangkan
sebuah kurikulum. “Pertama, hakikat
dan kebutuhan peserta didik.
Kedua, hakikat dan
kebutuhan masyarakat. Dan ketiga, masalah pokok yang digumuli siswa untuk
mengembangkan diri sebagai pribadi yang matang dan mampu menjalin hubungan
dengan pribadi lain dalam masyarakat”.
Agar pendidikan
multikultur ini dapat menghasilkan output
atau lulusan yang tidak hanya kompeten sesuai dengan disiplin ilmu yang ada
pada setiap institusi pendidikan ataupun yang ditekuninya, tetapi output tersebut juga mampu menerapkan
nilai-nilai keberagaman dalam memahami dan menghargai keberadaan perbedaan yang
ada maka penanaman nilai-nilai ini tidak hanya dilakukan pada mata pelajaran
Kewarganegaraan dan Agama saja tapi dapat pula berintegrasi dengan mata
pelajaran lain. Dimana penanaman nilai
multikultur ini bisa dilakukan oleh seorang guru atau pendidik baik dalam pembelajaran
di kelas atau dalam kegiatan sehari-hari. Contoh penanaman nilai multikultur
antara lain tidak membeda-bedakan siswa, membentuk kelompok diskusi secara
heterogen, pengambilan keputusan secara demokratis, memberi kebebasan bagi
siswa dalam mengeluarkan pendapatnya atau bertanya, menghargai budaya dan
bahasa dan lain-lain.
Dengan demikian
pendidikan multikultur harus
direncanakan dalam sebuah
design pengembangan kurikulum
yang integratif, sequentif dan didukung dengan lingkungan serta struktur
dan budaya yang bisa memberikan kontribusi positif terhadap pembinaan sikap dan
perilaku multikultur. Pendidikan
multikultur, secara substantif
harus bisa menjadi
bagian integral baik dalam mata
pelajaran Pendidikan Kewargnegaraan dan
mata pelajaran Pendidikan Agama ataupun mata pelajaran lain sebagai pendidikan
nilai. Tema-tema multikultur
harus disajikan dalam
skope yang komprehensif sebagai
upaya pencapaian berbagai
kompetensi yang telah disepakati dan ditetapkan.
D.
Implementasi Pendidikan Multikultural Pada Bidang Kesiswaan
Pendidikan
multikultural pada institusi pendidikan selain didalam bidang kurikulum
diperlukan pula dalam bidang kesiswaan.
Pendidikan tidak hanya bersifat akademik saja, tetapi ada pula yang
bersifat non akademik. Dalam
lembaga-lembaga pendidikan, pendidikan yang bersifat non akademik biasanya
dimasukkan dalam ekstrakurikuler ataupun OSIS/BEM.
Kegiatan-kegiatan
kesiswaan merupakan suatu wadah atau kegiatan-kegiatan yang positif agar siswa
dapat menyalurkan bakat, minat ataupun kreativitasnya pada kegiatan-kegiatan
non akademik. Kegiatan ekstrakurikuler
antara lain dalam bidang olah raga, seni, ilmu pengetahuan ataupun keagamaan. Kegiatan-kegiatan kesiswaan diantaranya
adalah kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler.
Kegiatan intrakurikuler dan
ekstrakurikuler dapat menumbuhkan nilai-nilai kebersamaan, kerukunan hidup
serta menghargai keberadaan perbedaan yang ada.
Setiap siswa memperoleh hak yang sama untuk memilih kegiatan
ekstrakurikuler yang diminati tanpa memandang asal dan latar belakangnya. Di setiap kegiatan intrakurikuler dan
ekstrakurikuler disisipkan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada kebiasaan
multikultur dengan sikap dan perilaku yang toleran antar teman, kebersamaan,
solideritas dan bisa saling bekerja sama dengan baik.
Contoh kegiatan kesiswaan intrakurikuler
seperti lomba-lomba yang bersifat nasionalisme ataupun keagamaan, dapat
menumbuhkan semangat kebangsaan, cinta tanah air dan juga melatih kerja sama
diantara siswa dari berbagai latar belakang yang berbeda. Kegiatan outbond yang dikemas dengan berbagai
permainan dapat menumbuhkan nilai kerja sama dan juga kebersamaan tanpa
memandang ras, etnik, bahasa, agama dan lain-lain. Kegiatan pesantren ataupun keagamaan lain
yang didalamnya bisa menumbuhkan nilai religious, toleransi juga dapat melatih
kepedulian sosial terhadap sesama tanpa memandang perbedaan, dan masih banyak
lagi kegiatan-kegiatan intrakurikuler ataupun ekstrakurikuler yang bisa
disisipkan penanaman nilai-nilai multikultur dengan mengedepankan penghormatan
terhadap perbedaan baik ras suku, maupun agama antar anggota masyarakat.
E.
Implementasi Pendidikan Multikultural Dalam Proses Pembelajaran
Dari aspek metode
strategi dan manajemen pembelajaran merupakan aspek penting dalam
penerapan pendidikan multikultural. Harry K. Wong, penulis buku How to be an
Active Teacher the First Days of School, sebagaimana dikutip Linda Starr (2004:
2) mendefinisikan manajemen pembelajaran sebagai “praktik dan prosedur yang
memungkinkan guru mengajar dan siswa belajar.” Terkait dengan praktik dan
prosedur ini, Ricardo L. Garcia (1982: 146) menyebutkan 3 (tiga) faktor dalam
manajemen pembelajaran, yaitu: (a) lingkungan fisik (physical environment), (b) lingkungan sosial (human environment), dan (c) gaya pengajaran guru (teaching style). Dalam pembelajaran
siswa memerlukan lingkungan fisik dan sosial yang aman dan nyaman. Untuk
menciptakan lingkungan fisik yang aman dan nyaman, guru dapat mempertimbangkan
aspek pencahayaan, warna, pengaturan meja dan kursi, tanaman, dan musik. Guru
yang memiliki pemahaman terhadap latar belakang budaya siswanya, akan
menciptakan lingkungan fisik yang kondusif untuk belajar. Sementara itu,
lingkungan sosial yang aman dan nyaman dapat diciptakan oleh guru melalui
bahasa yang dipilih, hubungan simpatik antar siswa, dan perlakuan adil terhadap
siswa yang beragam budayanya. Dalam
proses pembelajaran guru tidak membedakan gender, suku, ras, etnik dan
lain-lain.
Selain lingkungan fisik dan sosial, siswa juga
memerlukan gaya pengajaran guru yang menggembirakan. Menurut Garcia (1982:
146), gaya pengajaran guru merupakan gaya kepemimpinan atau teknik pengawalan
yang digunakan guru dalam proses pembelajaran (the kind of leadership or governance techniques a teacher uses).
Dalam proses pembelajaran, gaya kepemimpinan guru sangat berpengaruh bagi ada
tidaknya peluang siswa untuk berbagi pendapat dan membuat keputusan. Gaya
kepemimpinan guru berkisar pada otoriter, demokratis, dan bebas (laizzes faire). Gaya kepemimpinan
otoriter tidak memberikan peluang kepada siswa untuk saling berbagi pendapat.
Apa yang diajarkan guru kepada siswa ditentukan sendiri oleh sang guru.
Sebaliknya, gaya kepemimpinan guru yang demokratis memberikan peluang kepada
siswa untuk menentukan materi yang perlu dipelajari siswa. Selanjutnya, guru
yang menggunakan gaya kepemimpinan bebas (laizzes
faire) menyerahkan sepenuhnya kepada siswa untuk menentukan materi
pembelajaran di kelas. Untuk kelas yang beragam latar belakang budaya siswanya,
agaknya, lebih cocok dengan gaya kepemimpinan guru yang demokratis (Donna
Styles, 2004: 3).
Melalui pendekatan demokratis ini, para guru dapat
menggunakan beragam strategi pembelajaran, seperti dialog, simulasi, bermain
peran, observasi, dan penanganan kasus (Abdullah Aly, 2003: 70-1). Melalui
dialog para guru, misalnya, mendiskusikan sumbangan aneka budaya dan orang dari
suku lain dalam hidup bersama sebagai bangsa. Selain itu, melalui dialog para
guru juga dapat mendiskusikan bahwa semua orang dari budaya apa pun ternyata
juga dapat saling berkolaborasi dalam berkreatifias dan berinovasi. Sementara
itu, melalui simulasi dan bermain peran, para siswa difasilitasi untuk
memerankan diri sebagai orang-orang yang memiliki agama, budaya, dan etnik
tertentu dalam pergaulan sehari-hari. Dalam momen-momen tertentu, diadakan
proyek dan kepanitiaan bersama, dengan melibatkan aneka macam siswa dari
berbagai agama, etnik, budaya, dan bahasa yang beragam. Sedangkan melalui
observasi dan penanganan kasus, siswa dan guru difasilitasi untuk tinggal
beberapa hari di masyarakat multikultural. Mereka diminta untuk mengamati
proses sosial yang terjadi di antara individu dan kelompok yang ada, sekaligus
untuk melakukan mediasi bila ada konflik di antara mereka.
Dengan strategi pembelajaran tersebut para siswa
diasumsikan akan memiliki wawasan dan pemahaman yang mendalam tentang adanya
keragaman dalam kehidupan sosial. Bahkan, mereka akan memiliki pengalaman nyata
untuk melibatkan diri dalam mempraktikkan nilai-nilai dari pendidikan
multikultural dalam kehidupan sehari-hari. Sikap dan perilaku yang toleran,
simpatik, dan empatik pun pada gilirannya akan tumbuh pada diri masing-masing
siswa. Dengan demikian, proses pembelajaran yang difasilitasi guru tidak
sekadar berorientasi pada ranah kognitif, melainkan pada ranah afektif dan psikomotorik
sekaligus.
Selanjutnya, pendekatan demokratis dalam proses
pembelajaran dengan beragam strategi pembelajaran tersebut menempatkan guru dan
siswa memiliki status yang setara (equal
status), karena masing-masing dari mereka merupakan anggota komunitas kelas
yang setara juga. Setiap anggota memiliki hak dan kewajiban yang absolut.
Perilaku guru dan siswa harus diarahkan oleh kepentingan individu dan kelompok
secara seimbang. Aturan-aturan dalam kelas harus dibagi untuk melindungi
hak-hak guru dan siswa. Adapun hak-hak guru dalam proses pembelajaran meliputi:
(a) guru berhak menilai para siswa sebagai manusia dan hak mereka sebagai
manusia, (b) guru berhak mengetahui kapan menerapkan gaya pengajaran yang
berbeda otoriter, demokratis, dan bebas untuk meningkatkan hak-hak siswa, (c)
guru berhak mengetahui kapan dan bagaimana menerapkan ketidakpatuhan sipil, dan
(d) guru berhak memahami kompleksitas aturan bagi mayoritas dan melindungi
hak-hak minoritas. Di pihak lain, para siswa memiliki hak-hak sebagai berikut:
(a) siswa berhak mengetahui hak sipil dan kewajibannya, dan (b) siswa berhak
mengetahui bagaimana menggunakan hak dan kewajibannya (Garcia, 1982: 160).
Lebih jauh, pendekatan demokratis dalam
pembelajaran ini menuntut guru memiliki kompetensi multikultural. Farid
Elashmawi dan Philip P. Harris (1994: 6-7) menawarkan 6 (enam) kompetensi
multikultural guru, yaitu: (a) memiliki nilai dan hubungan sosial yang luas,
(b) terbuka dan fleksibel dalam mengelola keragaman siswa, (c) siap menerima
perbedaan disiplin ilmu, latar belakang, ras, dan gender; (d) memfasilitasi
pendatang baru dan siswa yang minoritas, (e) mau berkolaborasi dan koalisi
dengan pihak mana pun, dan (f) berorientasi pada program dan masa depan. Selain
itu, James A. Bank (1989: 104-5) menambahkan kompetensi multikultural lain yang
harus dimiliki oleh guru, yaitu: (a) sensitif terhadap perilaku etnik
para siswa, (b) sensitif terhadap kemungkinan adanya kontroversi tentang materi
ajar, dan (c) menggunakan teknik pembelajaran kelompok untuk mempromosikan
integrasi etnik dalam pembelajaran.
Implementasi
pendidikan multikultur pada institusi pendidikan diperlukan pula penanaman
nilai-nilai budaya dan karakter bangsa, dimana penanaman nilai-nilai tersebut
hendaknya tercantum di dalam KTSP dan juga dilakukan di dalam proses
pembelajaran di kelas pada setiap mata pelajaran.
Adapun nilai-nilai budaya dan karakter tersebut diantaranya
adalah Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja
keras, Kerja Sama, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa ingin tahu, Semangat
kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/Komunikatif, Cinta damai, Percaya Diri, Gemar membaca,
Peduli lingkungan, Peduli sosial, Tanggungjawab.
Contoh
penanaman nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada proses pembelajaran
antara lain diskusi kelompok di dalam kelas atau ruang kuliah untuk
menyelesaikan suatu materi atau soal yang diberikan oleh guru atau dosen
(penanaman nilai Kerja Sama, Bersahabat dan Komunikatif), pembiasaan berdoa di setiap awal pembelajaran
di kelas atau ruang kuliah (nilai Religius), pembiasaan saling salaman antar
teman di pagi hari dan ketika pulang sekolah (nilai Persahabatan dan Cinta
Damai), melaksanakan upacara bendera atau menyanyikan lagu wajib nasional untuk
selingan (menumbuhkan Semangat Kebangsaan dan Cinta Tanah Air), melakukan
kegiatan bakti sosial pada kegiatan-kegiatan kesiswaan (menumbuhkan nilai
Peduli Sosial) dan lain-lain.
Dengan demikian
pendidikan multikultural yang di dalamnya terdapat nilai-nilai budaya dan
karakter bangsa memiliki urgensi yang sangat tinggi untuk diimplementasikan ke
dalam dunia pendidikan baik itu di dalam kurikulumnya, kegiatan-kegiatan
siswa/mahasiswa dan proses pembelajaran ataupun perkuliahan.
BAB IV
PENUTUP
Pendidikan multikultur sebagai wacana baru di Indonesia namun urgensi implementasinya sudah sangat tinggi mengingat fenomena dan fakta yang sudah sangat
kompleks sehingga implementasinya tidak hanya melalui
pendidikan formal namun juga pendidikan non formal akademik dan non akademik yang
dapat dimplementasikan dalam kehidupan masyarakat maupun dalam keluarga. Dalam
pendidikan formal pendidikan multikultur ini dapat diintegrasikan dalam sistem
pendidikan melalui kurikulum mulai Pendidikan Anak Usia Dini, TK, SD, SMP, SMA
maupun Perguruan Tinggi. Implementasi pendidikan multikultural ini dapat
melalui kurikulum tiap jenjang pendidikan, program-program kesiswaan maupun di
dalam pembiasaan-pembiasaan dalam proses pembelajaran sehari-hari baik di
lingkungan sekolah maupun keluarga.
Pensisipan pendidikan multikultur ini dapat dilakukan dalam penanaman
nilai-nilai multikultur tersebut ke dalam KTSP ataupun kegiatan pembelajaran yang
responsive multikultur dengan mengedepankan penghormatan terhadap
perbedaan baik ras suku, maupun agama antar anggota masyarakat.
Tak kalah penting wacana pendidikan multikultur ini dapat
diimplementasikan dalam lingkup keluarga. Di mana keluarga sebagai institusi
sosial terkecil dalam masyarakat, merupakan media pembelajaran yang paling
efektif dalam proses internalisasi dan transformasi nilai, serta sosialisasi
terhadap anggota keluarga. Peran orangtua dalam menanamkan nilai-nilai yang
lebih responsive multikultur dengan mengedepankan penghormatan dan pengakuan
terhadap perbedaan yang ada di sekitar lingkungannya (agama, ras, golongan)
terhadap anak atau anggota keluarga yang lain merupakan cara yang paling
efektif dan elegan untuk mendukung terciptanya sistem harmoni sosial yang lebih
berkeadilan.
0 Response to "MAKALAH IMPLEMENTASI PENDIDIKAN BERBASIS MULTIKULTURAL DALAM INSTITUSI PENDIDIKAN"
Posting Komentar