Salah satu ciri dari sebuah profesi adalah adanya kode etik
yang menjadi pedoman bersikap dan berperilaku bagi para penyandang profesi yang
bersangkutan. Berdasarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 2005, secara tegas dinyatakan bahwa guru
adalah tenaga profesional yang berkewajiban untuk senantiasa menjunjung tinggi
Kode Etik Guru, agar kehormatan dan martabat guru dalam pelaksanaan tugas
keprofesionalannya dapat terpelihara. Kode Etik Guru berisi seperangkat prinsip
dan norma moral yang melandasi pelaksanaan tugas dan layanan profesional guru,
sesuai dengan nilai-nilai agama, pendidikan, sosial, etika dan kemanusiaan.
Tugas utama guru adalah berusaha mengembangkan segenap
potensi siswanya secara optimal, agar mereka dapat mandiri dan berkembang
menjadi manusia-manusia yang cerdas, baik cerdas secara fisik, intelektual,
sosial, emosional, moral dan spiritual. Sebagai konsekuensi logis dari tugas
yang diembannya, guru senantiasa berinteraksi dan berkomunikasi dengan
siswanya. Dalam konteks tugas, hubungan diantara keduanya adalah hubungan
profesional, yang diikat oleh kode
etik. Berikut ini disajikan nilai-nilai
dasar dan operasional yang membingkai sikap dan perilaku etik guru dalam berhubungan dengan siswa,
sebagaimana tertuang dalam rumusan Kode Etik Guru Indonesia (KEGI):
Guru berperilaku
secara profesional dalam melaksanakan tugas mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran.
Guru membimbing
peserta didik untuk memahami, menghayati dan mengamalkan hak-hak dan kewajiban
sebagai individu, warga sekolah, dan anggota masyarakat.
Guru mengetahui
bahwa setiap peserta didik memiliki karakteristik secara individual dan
masing-masingnya berhak atas layanan pembelajaran.
Guru menghimpun
informasi tentang peserta didik dan menggunakannya untuk kepentingan proses
kependidikan.
Guru secara
perseorangan atau bersama-sama secara terus-menerus berusaha menciptakan,
memelihara, dan mengembangkan suasana sekolah yang menyenangkan sebagai
lingkungan belajar yang efektif dan efisien bagi peserta didik.
Guru menjalin
hubungan dengan peserta didik yang dilandasi rasa kasih sayang dan
menghindarkan diri dari tindak kekerasan fisik yang di luar batas kaidah
pendidikan.
Guru berusaha
secara manusiawi untuk mencegah setiap gangguan yang dapat mempengaruhi
perkembangan negatif bagi peserta didik.
Guru secara
langsung mencurahkan usaha-usaha profesionalnya untuk membantu peserta didik
dalam mengembangkan keseluruhan kepribadiannya, termasuk kemampuannya untuk
berkarya.
Guru menjunjung
tinggi harga diri, integritas, dan tidak sekali-kali merendahkan martabat
peserta didiknya.
Guru bertindak dan
memandang semua tindakan peserta didiknya secara adil.
Guru berperilaku
taat asas kepada hukum dan menjunjung tinggi kebutuhan dan hak-hak peserta
didiknya.
Guru terpanggil
hati nurani dan moralnya untuk secara tekun dan penuh perhatian bagi pertumbuhan
dan perkembangan peserta didiknya.
Guru membuat
usaha-usaha yang rasional untuk melindungi peserta didiknya dari
kondisi-kondisi yang menghambat proses belajar,
menimbulkan gangguan kesehatan, dan keamanan.
Guru tidak boleh
membuka rahasia pribadi peserta didiknya untuk alasan-alasan yang tidak ada
kaitannya dengan kepentingan pendidikan, hukum, kesehatan, dan kemanusiaan.
Guru tidak boleh
menggunakan hubungan dan tindakan profesionalnya kepada peserta didik dengan
cara-cara yang melanggar norma sosial, kebudayaan, moral, dan agama.
Guru tidak boleh
menggunakan hubungan dan tindakan profesional dengan peserta didiknya untuk
memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.
Guru senantiasa
menjadi panutan dan contoh tauladan yang baik bagi siswa dalam berbicara,
berperilaku baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat.
Guru harus mampu
menjadi orang tua kedua yang baik bagi siswa-siswi di sekolah yang bertanggung
jawab penuh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak didiknya.
Dalam kultur Indonesia, hubungan guru dengan siswa
sesungguhnya tidak hanya terjadi pada saat sedang melaksanakan tugas atau
selama berlangsungnya pemberian pelayanan pendidikan. Meski seorang guru sedang
dalam keadaan tidak menjalankan tugas, atau sudah lama meninggalkan tugas
(purna bhakti), hubungan dengan siswanya (mantan siswa) relatif masih terjaga.
Bahkan di kalangan masyarakat tertentu masih terbangun “sikap patuh pada guru”
(dalam bahasa psikologi, guru hadir sebagai “reference group”). Meski secara
formal, tidak lagi menjalankan tugas-tugas keguruannya, tetapi
hubungan batiniah antara guru dengan siswanya masih relatif kuat, dan sang
siswa pun tetap berusaha menjalankan segala sesuatu yang diajarkan gurunya.
Dalam keseharian kita melihat kecenderungan seorang guru
ketika bertemu dengan siswanya yang
sudah sekian lama tidak bertemu. Pada umumnya, sang guru akan tetap menampilkan
sikap dan perilaku keguruannya, meski dalam wujud yang berbeda dengan semasa
masih dalam asuhannya. Dukungan dan
kasih sayang akan dia tunjukkan. Aneka
nasihat, petatah-petitih akan meluncur dari mulutnya.
Begitu juga dengan sang siswa, sekalipun dia sudah meraih
kesuksesan hidup yang jauh melampaui dari gurunya, baik dalam jabatan, kekayaan
atau ilmu pengetahuan, dalam hati kecilnya akan terselip rasa hormat, yang
diekspresikan dalam berbagai bentuk, misalnya: senyuman, sapaan, cium tangan,
menganggukkan kepala, hingga memberi kado tertentu yang sudah pasti bukan
dihitung dari nilai uangnya. Inilah salah satu kebahagian seorang guru, ketika
masih bisa sempat menyaksikan putera-puteri didiknya meraih kesuksesan hidup.
Rasa hormat dari para siswanya itu bukan
muncul secara otomatis tetapi justru terbangun dari sikap dan perilaku
profesional yang ditampilkan sang guru ketika masih bertugas memberikan pelayanan
pendidikan kepada putera-puteri didiknya.
Belakangan ini muncul keluhan dari beberapa teman yang
menyatakan bahwa anak-anak sekarang kurang menunjukkan rasa hormatnya terhadap
guru. Jangankan setelah mereka lulus, semasa dalam pengasuhan pun mereka kadang
bersikap kurang ajar. Jika memang benar adanya, tentu hal ini sangat
memprihatinkan. Adalah hal yang kurang bijak jika kita hanya bisa menyalahkan
mereka, tetapi mari kita berusaha
merefleksi kembali hubungan kita dengan
putera-puteri didik kita, sejauhmana kita telah menjalin hubungan dengan
putera-puteri didik kita, dengan didasari nilai-nilai sebagaimana diisyaratkan
dalam kode etik di atas. Jangan-jangan itulah faktor penyebab sesungguhnya.
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa hubungan guru dengan
siswa tidak hanya dikemas dalam bahasa profesional tetapi juga dalam konteks
kultural. Oleh karena itu, mari kita (saya dan Anda semua) terus belajar untuk
sedapat mungkin berusaha menjaga kode etik guru, kita jaga hubungan dengan
putera-puteri didik kita secara profesional dan kultural, agar kita tetap
menjadi guru yang sejatinya.
Sekian,,,majulah pendidikan Indonesia...
0 Response to "HUBUNGAN GURU DENGAN SISWA SEBAGAI TENAGA PROFESIONAL"
Posting Komentar