Guru adalah setatus sosial yang disandang oleh seseorang
yang dalam kesehariannya hidup dalam masyarakat yang tidak berbeda dengan yang
dihadapi oleh masyarakat pada umumnya dan sasaran didik pada khussusnya; tidak
mustahil menghadpi, mengalami dan menjalani tekanan-tekanan dalam komplesitas
kehidupan di masyarakatnya dengan berbagai sebab yang melatarbelakanginya; dan
bukan tidak mungkin berakibat dan menjadikan kekecewaan. Ketika itu terjadi,
kekecewaan yang dialaminya akan berpotensi mempengaruhi suasana hati,
sosioemosional dan kinerjanya.
Persoalan-persoalan ini kiranya sangat penting untuk
dipahami oleh para pemangku kepentingan seperti Kepala Dinas Pendidikan (pada
berbagai tingkatan), Pengurus Yayasan, Pembina Pendidikan (Pengawas,
Supervisor), Kepala Sekolah, maupun Anggota Komite Sekolah, orangtua dan
masyarakat untuk segera mengambil langkah strategis dan penuh kearifan melalui
upaya-upaya yang diperkirakan dapat mencegah perilaku menyimpang serta
berakibat patal dan merugikan semua pihak. Rapat sekolah selain menjadi agenda
rutin membahas persoalan administrif dan akademik, kiranya dapat dijadikan
ajang silaturrahim, komumnikasi, tausiyah, dan musabah seputar masalah anggota
komunitas baik pribadi maupun yang menyangkut persoalan kinerja. Pertemuan
sekolah seperti ini dapat dikembangkan dan dikemas menjadi forum ilmiah untuk
membahas isu-isu actual, esensial, dan krusial bagi guru dan komunitas sekolah.
Sebagai contoh, adalah isu kekerasan dalam pembelajaran dan/atau isu kekerasan
di sekolah, seperti kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa, siswa
terhadap guru, kepala sekolah terhadap guru dan tenaga kependidikan, siswa
terhadap siswa, tawuran siswa dengan siswa sekolah lain, serta bentuk-bentuk
pelecehan lain). Selain itu kekerasan yang terjadi dalam pembelajaran baik
dalam bentuk verbal maupun nonverbal; adalah isu yang sangat hangat, karena maraknya
informasi yang dapat dibaca, didengar, dan dilihat oleh masyarakat, bahkan
menjadi keresahan yang mendalam bagi orang tua, masyarakat, bahkan pemerintah.
Isu kekerasan di sekolah yang dilakukan oleh guru terhadap
siswa dan atau sebaliknya, atau kekerasan antar siswa (tawuran siswa) atau
kekerasan dalam bentuk pelecehan sudah cukup banyak kita lihat, dengar,
saksikan atau diantara kita ada yang mengalami secara langsung. Kasus kekerasan
di sekolah baik fisik maupun verbal. Kasus anak SD gantung diri karena dicemooh
temannya atau dikeluarkan dari kelas sebab tidak memakai seragam sekolah, guru
menghukum siswa dengan kata-kata yang kotor, merendahkan, karena siswa tidak
dapat menjawab pertanyaan guru. Selain itu ada guru yang menjewer kuping atau
memukul siswanya karena tidak patuh pada aturan dan/atau tidak patuh pada
keinginan guru, atau siswa tertentu yang cenderung mengedepankan kekuasaannya
karena status sosial orang tuanya lebih tinggi dari siswa lainya atau lebih
tinggi kedudukannya dari gurunya, dsb.), praktek pelecehan seksual oleh guru
terhadap siswa; adalah contoh kasus kekerasan yang kerap terjadi di sekolah.
Kasus-kasus seperti ini tentu memerlukan perhatian yang cukup mendalam, serius,
mulai dari kajian konseptual, penelitian empiris di lapangan sehingga dapat
dicarikan solusi guna mengeliminasi tindakan-tindakan kekerasan tersebut.
Mengembangkan budaya sekolah melalui atmosfir pembelajaran
yang lebih kondusif; aman , nyaman, dan menyenangkan dapat menumbuhkembangkan
anak-anak dengan baik dan menjadi produk pendidikan yang bermanfaat untuk
membangun bangsa ini dari keterpurukan dan ketertinggalan dari sisi
intelektualitas, moralitas, dan spiritualnya. Kasus kekerasan yang dilakukan
oleh guru terhadap siswa, baik fisik maupun verbal seringkali berdalih atas
nama memberikan ajaran (funishment); karena apa yang dilakukan oleh siswa tidak
sesuai dengan kaidah atau tata krama, namun tidak disadari bahwa tindakan yang
dilakukan guru pun mengakibatkan kerugian dan atau bahaya terhadap fisik dan
atau psikologis siswa. Oleh karena itu, kiranya sangat penting untuk memahami
tentang apa yang dimaksud dengan kekerasann itu.
Kekerasan dimaknai sebagai perilaku tidak layak yang
mengakibatkan kerugian atau bahaya secara fisik, psikologis, atau financial,
baik yang dialami individu maupun kelompok (Barker dalam Huraerah (2006) dari The
Social Work Dictionary). Sedangkan kekerasan menurut Jack Dauglas dan
Frances Chault Waksler (dalam Arif Rachman), istilah ini digunakan untuk
menggambarkan perilaku, baik secara terbuka (overt) maupun tertutup (covert)
dan baik yang bersifat menyerang (offensive) maupun bertahan (defensive), yang
disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain (Jakarta 2006). Mencermati
definisi diatas, manakala hal tersebut terjadi dalam peraktik pendidikan di
sekolah; adalah sebuah keniscayaan yang menapikan kaidah-kaidah paedagogik yang
sangat normative dalam memandu bagaimana sebuah pendidikan dan pembelajaran
harus dilakukan oleh guru, hal ini seperti dikemukakan oleh Nana Syaodih
(2004), “… proses pendidikan di sekolah terjadi interaksi pendidikan dan
pengajaran antara pendidik (kepala sekolah, guru, konselor, dan tenaga pendidik
lain) dengan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.
Interaksi pendidikan berfungsi membantu pengembangan seluruh
potensi, kecakapan dan karakteristik peserta didik. Peranan pendidik lebih
besar, karena kedudukannya sebagai orang yang lebih dewasa, lebih
berpengalaman, lebih banyak menguasai nilai-nilai, pengetahuan dan
keterampilan”. Persoalannya adalah, ketika kaidah-kaidah pendidikan harus
dijunjung, praktek kekerasan baik yang terbuka ataupun yang tertutup, fisik
maupun verbal masih sering terjadi di sekolah. Mengapa ?. Arif Rachman (2006),
mengemukakan bahwa “hal-hal yang mengakibatkan kekerasan itu adalah : 1)
kekerasan dalam pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai
dengan hukuman, terutama fisik, 2) kekerasan dalam pendidikan dapat diakibatkan
oleh buruknya system dan kebijakan pendidikan yang berlaku, 3) kekerasan dalam
pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa yang
memang belakangan ini kian vulgar dalam menampilkan aksi-aksi kekerasan, 4)
kekerasan bisa merupakan refleksi dari perkembangan kehidupan masyarakat yang
mengalami pergeseran cepat, sehingga meniscayakan timbulnya sikap instant
solution maupun jalan pintas, 5) kekersan dipengaruhi oleh latar belakang
sosial ekonomi pelaku”.
Apapun alasannya, kekerasan disekolah (dalam pendidikan)
merupakan tindakan yang tidak dibenarkan baik oleh kaidah pendidikan, norma
sekolah dan hukum positif yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Sebagai bahan
pemahaman (umum) tentang bentuk-bentuk seperti apa yang dikatagorikan sebagai
kekerasan kepada anak (child abuse), Suharto (dalam Huraerah 2006),
menghklasifikasikan kepada empat bentuk yaitu : pertama, kekerasan
fisik, kedua kekerasan psikologis, ketiga kekersan seksual, dan keempat
kekerasan sosial.
Kekerasan fisik berbentuk penyiksaan, pemukulan,
dan penganiayaan terhadap anak dengan atau tanpa menggunakan benda-benda
tertentu yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian kepada anak.
Kekerasan
psikologis meliputi bentuk penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan
kotor, memperlihatkan buku, gambar, atau film porno pada anak. Kekerasan
seksual dapat berupa perlakuan pra-kontak seksual antara anak dengan orang
yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibitionism),
maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa
(incest, perkosaan, eksploitasi seksual). Kekerasan sosial, mencakup
penelantaran anak , yaitu sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan
perhatian layak terhadap proses tumbuhkembang anak, dan eksploitasi anak.
Bentuk kekerasan seperti diuraikan di atas secara
implementatif dapat dikembangkan dalam praktek pendidikan (pembelajaran) di
sekolah; yakni pimpinan sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan anggota
komunitas sekolah lainnya, diproteksi oleh aturan yang memuat rambu-rambu yang
melarang perbuatan kekerasan terhadap siswa (anak) baik fisik, psikologis,
seksual, maupun social.
Kekerasan di sekolah (dalam pembelajaran) adalah sebuah
keniscayaan yang menapikan kaidah-kaidah pendidikan serta menapikan kearifan
kompetensi pendidik maupun pimpinan sekolah. Oleh karena itu sikap anti kekerasan
oleh seluruh anggota komunitas di sekolah tanpa kecuali perlu dikembangkan
sebagai bentuk proteksi terhadap anak-anak bangsa ini. Arif Rachman,
mengemukakan tentang bagaimana seharusnya yang dilakukan oleh sekolah ?; ia
berpendapat bahwa sekolah perlu menciptakan suatu “kultur”. Kultur sekolah
penting karena : 1) merupakan nyawa dari sekolah yang dapat menciptakan suasana
pendidikan yang hidup dan akan membantu tercapainya cita-cita, visi dan misi
sekolah, 2) tanpa kultur sekolah maka sekolah akan menjadi lembaga pengajaran
yang bukan lembaga pendidikan. Hal lainnya, bahwa kultur sekolah dapai
dikembangkan dan dicapai dengan cara : 1) pemahaman seluruh anggota sekolah
terhadap kultur tersebut, 2) struktur organisasi sekolah yang mendukung. 3)
manajemen sekolah yang sesuai dengan kultur tersebut, 4) kegiatan intra, ekstra
dan co kurikuler yang bervariasi, dan 5) sember daya yang ada di sekolah
diberdayakan secara optimal. Sebagai bahan acuan normatif , kiranya seluruh
anggota komunitas sekolah (pimpinan, pendidik dan tenaga kependidikan, serta
anggota komunitas sekolah lainnya penting memahami hak-hak anak dan penghapusan
kekerasan bagi anak yang dilindungi oleh undang-undang. Pada klaosul menimbang
(UURI N0. 23 Tahun 2002) dinyatakan : Bahwa anak adalah amanah dan karunia
Tuhan Yang maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai
manusia sutuhnya. Anak adalah tunas, potensi dan generasi muda penerus
cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peranan strategis dan mempunyai cirri dan
sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan Negara pada masa
depan. Bahwa setiap anak agar kelak mampu memikul tanggungjawab tersebut, maka
ia perlu mendapat kesempayan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang
secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan berakhlak mulia, perlu
dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan
memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perilaku tanpa
diskriminasi.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak anak yang masih dalam kandungan. Perlindungan anak adalah
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat peerlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi (Ps. 1 Ayat (1 dan 2 UURI 23/2002), dan semua ini dalam rangka
mewujudkan anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
Perlindungan terhadap anak salah satunya adalah hak mendapat perlindungan dalam
pendidikan. Pada pasal 49 (undang-undang yang sama) menegaskan bahwa Negara,
pemerintah, keluarga dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.
Sedang pasal 50-nya
menyebutkan bahwa pendidikan yang dimaksud diarahkan pada :
a. Pengembangan sikap dan kemampuan kepribadian anak,
bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi mereka yang optimal;
b. Pengembangan penghormatan atas hak asasi manusia
dan kebebasan atas hak asasi dan kebebsan asasi;
c. Pengembangan rasa hormat terhadap orang tua,
identitas budaya, bahasa dan nilai-nilainya sendiri, nilai-nilai nasional
dimana anak bertempat tinggal, dari mana anak berasal dan peradaban-peradaban
yang berbeda-beda dari peradaban sendirinya;
d. Persiapan anak untuk kehidupan yang
bertanggungjaawab; dan
e. Pengembangan rasa hormat dan cinta terhadap
lingkungan hidup.
Inilah rambu-rambu hukum yang kiranya dapat menjadi bahan
pemahaman dan memprotek diri untuk memberikan perlindungan terhadap siswa dan
anak-anak bangsa dan memprotek diri untuk tidak melakukan tindakan kekerasan,
baik fisik, psikologis, seksual, maupun sosial. Namun demikian pada undang-undang
ini juga dinyatakan mengenai kewajiban anak (pasal 19); yaitu setiap anak
berkewajiban untuk :
a. Menghormati orang tua, wali, dan guru
b. Menghormati keluarga, masyarakat, dan
menyayangi teman;
c. Mencintai tanah air, bangsa dan negara;
d. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
e. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
0 Response to "PERAN DAN FUNGSI GURU DALAM UPAYA MEMBANGUN KETAHANAN SEKOLAH"
Posting Komentar