A. Kesulitan Belajar Siswa
Dalam
kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah
karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh
kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami
kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam
belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar siswa
ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil
belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis,
sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang
dicapainya berada di bawah semestinya.
Kesulitan belajar siswa mencakup pengetian yang luas, diantaranya: (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan diuraikan dari masing-masing pengertian tersebut.
- Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.
- Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.
- Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.
- Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.
- Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.
Siswa yang mengalami kesulitan belajar
seperti tergolong dalam pengertian di atas akan tampak dari berbagai
gejala yang dimanifestasikan dalam perilakunya, baik aspek psikomotorik,
kognitif, konatif maupun afektif . Beberapa perilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar, antara lain :
- Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya.
- Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa yang sudah berusaha giat belajar, tapi nilai yang diperolehnya selalu rendah
- Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan.
- Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya.
- Menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya.
- Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti : pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.
- Sementara itu, Burton (Abin Syamsuddin. 2003) mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar, yang ditunjukkan oleh adanya kegagalan siswa dalam mencapai tujuan-tujuan belajar. Menurut dia bahwa siswa dikatakan gagal dalam belajar apabila :
- Dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan materi (mastery level) minimal dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh guru (criterion reference).
- Tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat berdasarkan ukuran tingkat kemampuan, bakat, atau kecerdasan yang dimilikinya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam under achiever.
- Tidak berhasil tingkat penguasaan materi (mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam slow learner atau belum matang (immature), sehingga harus menjadi pengulang (repeater)
Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar
dan menandai siswa yang mengalami kesulitan belajar, maka diperlukan
kriteria sebagai batas atau patokan, sehingga dengan kriteria ini dapat
ditetapkan batas dimana siswa dapat diperkirakan mengalami kesulitan
belajar. Terdapat empat ukuran dapat menentukan kegagalan atau
kemajuan belajar siswa: (1) tujuan pendidikan; (2) kedudukan dalam
kelompok; (3) tingkat pencapaian hasil belajar dibandinngkan dengan
potensi; dan (4) kepribadian.
1. Tujuan pendidikan
Dalam keseluruhan sistem pendidikan,
tujuan pendidikan merupakan salah satu komponen pendidikan yang penting,
karena akan memberikan arah proses kegiatan pendidikan. Segenap
kegiatan pendidikan atau kegiatan pembelajaran diarahkan guna mencapai
tujuan pembelajaran. Siswa yang dapat mencapai target tujuan-tujuan
tersebut dapat dianggap sebagai siswa yang berhasil. Sedangkan, apabila
siswa tidak mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut dapat dikatakan
mengalami kesulitan belajar. Untuk menandai mereka yang mendapat
hambatan pencapaian tujuan pembelajaran, maka sebelum proses belajar
dimulai, tujuan harus dirumuskan secara jelas dan operasional.
Selanjutnya, hasil belajar yang dicapai dijadikan sebagai tingkat
pencapaian tujuan tersebut. Secara statistik, berdasarkan distribusi
normal, seseorang dikatakan berhasil jika siswa telah dapat menguasai
sekurang-kurangnya 60% dari seluruh tujuan yang harus dicapai. Namun
jika menggunakan konsep pembelajaran tuntas (mastery learning) dengan
menggunakan penilaian acuan patokan, seseorang dikatakan telah berhasil
dalam belajar apabila telah menguasai standar minimal ketuntasan yang
telah ditentukan sebelumnya atau sekarang lazim disebut Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM). Sebaliknya, jika penguasaan ketuntasan di
bawah kriteria minimal maka siswa tersebut dikatakan mengalami kegagalan
dalam belajar. Teknik yang dapat digunakan ialah dengan cara
menganalisis prestasi belajar dalam bentuk nilai hasil belajar.
2. Kedudukan dalam Kelompok
Kedudukan seorang siswa dalam kelompoknya
akan menjadi ukuran dalam pencapaian hasil belajarnya. Siswa dikatakan
mengalami kesulitan belajar, apabila memperoleh prestasi belajar di
bawah prestasi rata-rata kelompok secara keseluruhan. Misalnya,
rata-rata prestasi belajar kelompok 8, siswa yang mendapat nilai di
bawah angka 8, diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Dengan
demikian, nilai yang dicapai seorang akan memberikan arti yang lebih
jelas setelah dibandingkan dengan prestasi yang lain dalam kelompoknya.
Dengan norma ini, guru akan dapat menandai siswa-siswa yang diperkirakan
mendapat kesulitan belajar, yaitu siswa yang mendapat prestasi di bawah
prestasi kelompok secara keseluruhan.
Secara statistik, mereka yang
diperkirakan mengalami kesulitan adalah mereka yang menduduki 25 % di
bawah urutan kelompok, yang biasa disebut dengan lower group. Dengan
teknik ini, kita mengurutkan siswa berdasarkan nilai nilai yang
dicapainya. dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah, sehingga
siswa mendapat nomor urut prestasi (ranking). Mereka yang menduduki
posisi 25 % di bawah diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Teknik
lain ialah dengan membandingkan prestasi belajar setiap siswa dengan
prestasi rata-rata kelompok. Siswa yang mendapat prestasi di bawah rata –
rata kelompok diperkirakan pula mengalami kesulitan belajar.
3. Perbandingan antara potensi dan prestasi
Prestasi belajar yang dicapai seorang
siswa akan tergantung dari tingkat potensinya, baik yang berupa
kecerdasan maupun bakat. Siswa yang berpotensi tinggi cenderung dan
seyogyanya dapat memperoleh prestasi belajar yang tinggi pula.
Sebaliknya, siswa yang memiliki potensi yang rendah cenderung untuk
memperoleh prestasi belajar yang rendah pula. Dengan membandingkan
antara potensi dengan prestasi belajar yang dicapainya kita dapat
memperkirakan sampai sejauhmana dapat merealisasikan potensi yang
dimikinya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila prestasi
yang dicapainya tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Misalkan,
seorang siswa setelah mengikuti pemeriksaan psikologis diketahui
memiliki tingkat kecerdasan (IQ) sebesar 120, termasuk kategori cerdas
dalam skala Simon & Binnet. Namun ternyata hasil belajarnya hanya
mendapat nilai angka 6, yang seharusnya dengan tingkat kecerdasan yang
dimikinya dia paling tidak dia bisa memperoleh angka 8. Contoh di atas
menggambarkan adanya gejala kesulitan belajar, yang biasa disebut dengan
istilah underachiever.
4. Kepribadian
Hasil belajar yang dicapai oleh seseorang
akan tercerminkan dalam seluruh kepribadiannya. Setiap proses belajar
akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam aspek kepribadian. Siswa
yang berhasil dalam belajar akan menunjukkan pola-pola kepribadian
tertentu, sesuai dengan tujuan yang tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan. Siswa diakatan mengalami kesulitan belajar, apabila
menunjukkan pola-pola perilaku atau kepribadian yang menyimpang dari
seharusnya, seperti : acuh tak acuh, melalaikan tugas, sering membolos,
menentang, isolated, motivasi lemah, emosi yang tidak seimbang dan
sebagainya.
B. Bimbingan Belajar
Bimbingan belajar merupakan upaya guru
untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam belajarnya. Secara
umum, prosedur bimbingan belajar dapat ditempuh melalui langkah-langkah
sebagai berikut
1. Identifikasi kasus
Identifikasi kasus merupakan upaya untuk
menemukan siswa yang diduga memerlukan layanan bimbingan belajar.
Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) memberikan beberapa
pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi siswa yang diduga
mebutuhkan layanan bimbingan belajar, yakni :
- Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua siswa secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar membutuhkan layanan bimbingan.
- Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
- Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
- Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi siswa.
- Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial
2. Identifikasi Masalah
Langkah ini merupakan upaya untuk
memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi
siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan siswa dapat
berkenaan dengan aspek : (a) substansial – material; (b) struktural –
fungsional; (c) behavioral; dan atau (d) personality. Untuk
mengidentifikasi masalah siswa, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu
instrumen untuk melacak masalah siswa, dengan apa yang disebut Alat
Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk mendeteksi
lokasi kesulitan yang dihadapi siswa, seputar aspek : (a) jasmani dan
kesehatan; (b) diri pribadi; (c) hubungan sosial; (d) ekonomi dan
keuangan; (e) karier dan pekerjaan; (f) pendidikan dan pelajaran; (g)
agama, nilai dan moral; (h) hubungan muda-mudi; (i) keadaan dan hubungan
keluarga; dan (j) waktu senggang.
3. Diagnosis
Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan
faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah
siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor yang penyebab
kegagalan belajar siswa, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun
out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua bagian faktor –
faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar
siswa, yaitu : (a) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri
siswa itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan,
bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya;
dan (b) faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah
termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
4. Prognosis
Langkah ini untuk memperkirakan apakah
masalah yang dialami siswa masih mungkin untuk diatasi serta menentukan
berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara
mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan
ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih
dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang
kompeten untuk diminta bekerja sama menangani kasus – kasus yang
dihadapi.
5. Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus)
Jika jenis dan sifat serta sumber
permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih
masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau guru pembimbing,
pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru
pembimbing itu sendiri. Namun, jika permasalahannya menyangkut
aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka
selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas hanya membuat
rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten.
6. Evaluasi dan Follow Up
Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas
usaha pemecahan masalah seyogyanya dilakukan evaluasi dan tindak
lanjut, untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment)
yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi siswa.
Berkenaan dengan evaluasi bimbingan,
Depdiknas telah memberikan kriteria-kriteria keberhasilan layanan
bimbingan belajar, yaitu :
- Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh siswa berkaitan dengan masalah yang dibahas;
- Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan
- Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh siswa sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.
Sementara itu, Robinson dalam Abin
Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan beberapa kriteria dari
keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yaitu
apabila:
- Siswa telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
- Siswa telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
- Siswa telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
- Siswa telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
- Siswa telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
- Siswa mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
- Siswa telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya
0 Response to "ARTIKEL KONSEP BIMBINGAN DAN KONSELING TENTANG "KESULITAN BELAJAR DAN BIMBINGAN BELAJAR""
Posting Komentar