Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabbarakatuh
Selamat Siang
sinarberita.com - Akhir-akhirnya berita seputar kasus guru versus siswa menghiasi media-media online. Banyak kejadian memprihatinkan yang dialami oleh rekan guru karena permasalahan yang dinilai cukup sepela namun berakhir dengan penjara.
Menghadapi generasi muda yang makin melek teknologi dengan berbagai persoalan yang ada pada mereka, guru dalam proses mendidik mempunyai kewajiban memberi penghargaan (reward) bagi yang peserta didik yang dianggap baik dan memberi hukuman (punishment) bagi yang melanggar atau tidak sesuai dengan tujuan pendidikan.
Namun dalam beberapa kasus punishment, guru justru harus berhadapan dengan jerat hukum pidana karena dianggap melangar UU Perlindungan Anak.
Peneliti Merapi Cultural Institute (MCI), Agustinus Sucipto mencermati maraknya guru-guru yang berurusan kasus pidana mengakibatkan mereka menjadi takut untuk memberi hukuman. Ketakutan semacam ini dinilainya bisa berakibat pada pembiaran terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh peserta didik.
Padahal, untuk mengatasi dekandensi moral generasi muda saat ini, terang peneliti yang berprofesi sebagai pendidik ini, sangat tidak adil apabila orangtua melimpahkan seluruhnya pada institusi pendidikan formal.
"Perlu adanya paradigma baru bahwa pendidikan moralitas generasi muda menjadi tanggungjawab bersama. Selain sekolah sebagai institusi pendidikan formal, keluarga dan masyarakat juga harus bertanggungjawab dalam mendidik," terang peneliti yang pernah mendalami ilmu filsafat di STFT Widya Sasana Malang.
Ia berpendapat, keluarga lah tempat pendidikan pertama dan utama bagi anak. Sayangnya, banyak orangtua justru menyerahkan pendidikan kepada sekolah karena merasa sudah membayar uang sekolah. Padahal, proses pendidikan di sekolah hanya 7-8 jam, sedangkan selebihnya bersama orangtua dan di masyarakat.
"Perlu adanya kerjasama yang sinergis antara orangtua dan sekolah dalam mendidik anak. Kita ketahui, peserta didik yang bermasalah tak jarang karena hidup di keluarga yang bermasalah," terangnya.
Ia pun mengaku prihatin dengan fakta bahwa UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian direvisi menjadi UU 35/2014 belum disosialisasikan secara optimal ke sekolah sebagai institusi pendidikan dan guru sebagai pendidik.
"Banyak guru tidak memahami isi UU Perlindungan Anak dan implementasinya. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab kekerasan yang dilakukan oleh pendidik kepada siswa," tegasnya.
Menurutnya, kini sangat diperlukan penjelasan, penjabaran dan batasan yang jelas tentang makna kekerasan seperti terdapat dalam UU 35/2014 utamanya Pasal 54 karena makna kekerasan sendiri multi tafsir.
"Penafsiran makna kekerasan inilah yang sering digunakan orangtua untuk menyeret guru ke meja hijau. Membentak bisa saja dikategorikan kekerasan karena bisa menimbukan kesengsaraan psikis," terangnya.
Di sisi lain, imbuh dia, guru sendiri memang harus melek hukum sehingga dalam melaksanakan tugasnya tahu batasan ketika memberi hukuman serta bisa membela diri atau mencari jalan keluar saat berhadapan dengan masalah hukum.
Ia pun mendesak pemerintah dan organisasi guru seperti PGRI memberi advokasi yang serius sesuai amanat UU Guru dan Dosen. Advokasi ini penting agar jelas kasus tersebut merupakan kategori pelanggaran etik, pelanggaran disiplin atau pelanggaran hukum.
Diberitakan Nurmayani Salam, seorang guru di SMPTN 1 Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, dipolisikan oleh orang tua dari anak didiknya. Nurmayani dilaporkan atas tuduhan penganiayaan terhadap siswa dan kini telah mendekam di balik jeruji besi.
(Sumber : http://www.rmol.co)
Demikian berita seputar masalah guru yang dapat kami bagikan, semoga bermanfaat.
Untuk info terbaru lainya silakan kunjungi laman DISINI
0 Response to "BUAT GURU, INI CARA AGAR TERHINDAR DARI KASUS HUKUM DENGAN SISWA"
Posting Komentar