Pendidikan sebagai transformasi
budaya, diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu
generasi ke generasi yang lain. Daoed Joesoef memandang pendidikan
sebagai bagian dari kebudayaan karena pendidikan adalah upaya memberikan
pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup yang
dimaksudkan di sini adalah kebudayaan. Dikatakan demikian karena kehidupan
adalah keseluruhan dari keadaan diri kita, totalitas dari apa yang kita lakukan
sebagai manusia, yaitu sikap, usaha, dan kerja yang harus dilakukan oleh setiap
orang, menetapkan suatu pendirian dalam tatanan kehidupan bermasyarakat yang
menjadi ciri kehidupan manusia sebagai maklhuk bio-sosial. Karena itu,
pendidikan harus hadir dan dimaknai sebagai pembentukan karakter (character
building) manusia, aktualisasi kedirian yang penuh ihsan dan pengorbanan
atas nama kehidupan manusia. Ada tiga bentuk transformasi yaitu
Nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa
tanggung jawab, dan lain-lain. Yang kurang cocok
diperbaiki, Yang tidak cocok diganti.: Contohnya Budaya korup
dan menyimpang adalah sasaran bidik dari pendidikan transformatif.
Segala sesuatu yang ada dalam masyarakat ditentukan oleh
kebudayaan masyarakat itu sendiri. Baik buruknya perilaku atau sikap masyarakat
juga tergantung pada kebudayaan. Setiap masyarakat mempunyai
kebudayaan yang secara kontinyu di taati dan diajarkan dari generasi
ke generasi berikutnya. Secara sadar atau tidak sadar secara terstruktur,
masyarakat melalui anggota-anggotanya akan mengajarkan kebudayaan. Proses
mengajar inilah disebut sebagai transformasi budaya atau pewarisan budaya. Proses
tranformasi budaya dapat dilakukan melalui ucapan, sikap atau
perilaku yang terpola (Anneahira.com content team ). Dengan kata lain,
transformasi kebudayaan dilakukan melalui proses belajar yang selanjutnya bisa
berupa sosialisasi dan enkulturasi.
a) Sosialisasi
Sosialisasi adalah suatu proses sosial melalui mana manusia
sebagai suatu organisme yang hidup dengan manusia lain membangun suatu jalinan
sosial dan berinteraksi satu sama lain, untuk belajar memainkan peran dan
menjalankan fungsi, serta mengembangkan relasi sosial di dalam masyarakat
(Peter-Poole 2002). Berger mendefinisikan sosialisasi sebagai proses dimana
seorang anak belajar menjadi anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat
(Berger, 1978:116). Definisi ini disajikannya dalam suatau pokok bahasan
berjudul society in man; dari sini tergambar pandangannya
bahwa melalui sosialisasi masyarakat dimasukkan ke dalam manusia.
Berdasarkan jenisnya, sosialisasi dibagi menjadi dua:
sosialisasi primer (dalam keluarga) dan sosialisasi sekunder (dalam
masyarakat). Menurut Goffman kedua proses tersebut berlangsung dalam
institusi total, yaitu tempat tinggal dan tempat bekerja. Dalam kedua institusi
tersebut, terdapat sejumlah individu dalam situasi yang sama, terpisah dari
masyarakat luas dalam jangka waktu kurun tertentu, bersama-sama menjalani hidup
yang terkukung, dan diatur secara formal.
Peter L. Berger dan Luckmann mendefinisikan
sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa
kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer
berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah.
Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap
dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya.
Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat
penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas di
dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian
dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya.
Sosialisasi sekunder adalah suatu proses sosialisasi lanjutan setelah
sosialisasi primer yang memperkenalkan individu ke dalam kelompok tertentu
dalam masyarakat. Salah satu bentuknya adalah resosialisasi dan desosialisasi.
Dalam proses resosialisasi, seseorang diberi suatu identitas diri yang baru.
Sedangkan dalam proses desosialisasi, seseorang mengalami 'pencabutan'
identitas diri yang lama.
Sosiologi dapat dibagi
menjadi dua pola: sosialisasi represif dan sosialisasi
partisipatoris.Sosialisasi represif (repressive socialization)
menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain dari
sosialisasi represif adalah penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan
imbalan. Penekanan pada kepatuhan anak dan orang tua. Penekanan pada komunikasi
yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah, penekanan sosialisasi
terletak pada orang tua dan keinginan orang tua, dan peran
keluarga. Sosialisasi partisipatoris(participatory socialization)
merupakan pola di mana anak diberi imbalan ketika berprilaku baik. Selain itu,
hukuman dan imbalan bersifat simbolik. Dalam proses sosialisasi ini anak diberi
kebebasan. Penekanan diletakkan pada interaksi dan komunikasi bersifat lisan
yang menjadi pusat sosialisasi adalah anak dan keperluan anak.
George Herbert Mead
berpendapat bahwa sosialisasi yang dilalui seseorang dapat dibedakan menlalui
tahap-tahap sebagai berikut.
· Tahap persiapan (Preparatory Stage)
Tahap ini dialami sejak manusia dilahirkan, saat seorang
anak mempersiapkan diri untuk mengenal dunia sosialnya, termasuk untuk
memperoleh pemahaman tentang diri. Pada tahap ini juga anak-anak mulai
melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna.
· Tahap meniru (Play Stage)
Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak
menirukan peran-peran yang dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai
terbentuk kesadaran tentang anma diri dan siapa nama orang tuanya, kakaknya,
dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang dilakukan seorang ibu dan
apa yang diharapkan seorang ibu dari anak. Dengan kata lain, kemampuan untuk
menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai terbentuk pada tahap ini.
Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan banyak orang telah mulai
terbentuk. Sebagian dari orang tersebut merupakan orang-orang yang dianggap
penting bagi pembentukan dan bertahannya diri, yakni dari mana anak menyerap
norma dan nilai. Bagi seorang anak, orang-orang ini disebut orang-orang yang
amat berarti (Significant other).
· Tahap siap bertindak (Game Stage)
Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan
oleh peran yang secara langsung dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya
menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan
adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya
tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-temannya. Pada
tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubunganya semakin kompleks.
Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya di luar rumah.
Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai
dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu
yang berlaku di luar keluarganya.
· Tahap penerimaan norma kolektif (Generalized
Stage/Generalized other)
Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah
dapat menempatkan dirinya pada posisi masyarakat secara luas. Dengan kata lain,
ia dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-orang yang berinteraksi
dengannya tapi juga dengan masyarakat luas. Manusia dewasa menyadari pentingnya
peraturan, kemampuan bekerja sama bahkan, dengan orang lain yang tidak
dikenalnya secara mantap. Manusia dengan perkembangan diri pada tahap ini telah
menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.
Sosialisasi dapat terjadi melalui interaksi social secara
langsung ataupun tidak langsung. Proses sosialisasi dapat berlangsung melalui
kelompok social, seperti keluarga, teman sepermainan dan sekolah, lingkungan
kerja, maupun media
href="http://id.shvoong.com/tags/media/"> massa. Adapun media yang
dapat menjadi ajang sosialisasi adalah keluarga, sekolah, teman
bermain media massa dan lingkungan kerja.
1. Keluarga
Pertama-tama
yang dikenal oleh anak-anak adalah ibunya, bapaknya dan saudara-saudaranya.
Kebijaksanaan orangtua yang baik dalam proses sosialisasi anak, antara lain :
berusaha dekat dengan anak-anaknya, mengawasi dan mengendalikan secara wajar
agar anak tidak merasa tertekan, mendorong agar anak mampu membedakan benar dan
salah, baik dan buruk, memberikan keteladanan yang baik, menasihati
anak-anak jika melakukan kesalahan-kesalahan dan tidak menjatuhkan hukuman di
luar batas kejawaran, menanamkan nilai-nilai religi baik dengan mempelajari
agama maupun menerapkan ibadah dalam keluarga. Menurut Gertrudge Jaeger,
peranan para agen sosialisasi dalam sistem keluarga pada tahap awal sangat
besar karena anak sepenuhnya berada dalam ligkugan keluarganya terutama orang
tuanya sendiri.
2. Sekolah
Pendidikan
di sekolah merupakan wahana sosialisasi sekunder dan merupakan tempat
berlangsungnya proses sosialisasi secara formal. Robert Dreeben berpendapat
bahwa yang dipelajari seorang anak di sekolah tidak hanya membaca, menulis, dan
berhitung saja namun juga mengenai kemandirian (independence), prestasi
(achievement), universalisme (universal) dan kekhasan / spesifitas (specifity).
3. Kelompok bermain
Kelompok bermain mempunyai pengaruh besar dan berperan
kuat dalam pembentukan kepribadian anak. Dalam kelompok bermain anak akan
belajar bersosialisasi dengan teman sebayanya. Puncak pengaruh teman bermain
adalah masa remaja. Para remaja berusaha untuk melaksanakan nilai-nilai dan
norma-norma yang berlaku bagi kelompoknya itu berbeda dengan nilai yang berlaku
pada keluarganya, sehingga timbul konflik antara anak dengan anggota
keluarganya. Hal ini terjadi apabila para remaja lebih taat kepada nilai dan
norma kelompoknya.
4. Media massa
Media
massa seperti media cetak, (surat kabar, majalah, tabloid) maupun
mediaelektronik (televisi, radio, film dan video). Besarnya pengaruh media
massa sangat tergantung pada kualitas dan frekuensi pesan yang disampaikan.
1. Adegan-adegan yang
berbau pornografi telah mengikis moralitas dan meningkatkan pelanggaran susila
di dalam masyarakat .
2. Penayangan
berita-berita peperangan, film-film, dengan adegan kekerasan atau sadisme
diyakini telah banyak memicu peningkatan perilaku agresif pada anak-anak yang
menonton.
3. Iklan produk-produk
tertentu telah meningkatkan pola konsumsi atau bahkan gaya hidup masyarakat
pada umumnya.
5. Lingkungan Kerja
Lingkungan
kerja merupakan media sosialisasi yang terakhir cukup kuat, dan efektif
mempengaruhi pembentukan kepribadian seseorang. Lingkungan kerja
dalam panti asuhan , Orang yang bekerja di lingkungan panti asuhan lama
kelamaan terbentuk kepribadian dengan tipe memiliki rasa kemanusiaan yang
tinggi, sabar dan penuh rasa toleransi. Lingkungan kerja dalam perbankan
Lingkungan ini dapat membuat seseorang menjadi sangat penuh perhitungan
terutama terhadap hal-hal yang bersifat material dan uang.
b) Enkulturasi
Menurut Koentjaraningrat (1996 : 145-147), proses
enkulturasi adalah proses belajar menyusuaikan alam pikiran serta
sikap terhadap adat, sistem norma, serta semua peraturan yang terdapat dalam
kebudayaan seseorang. Proses ini telah dimulai sejak awal kehidupan kemudian
dalam lingkungan yang makin lama makin meluas. Proses enkulturasi
selalu berlangsung secara dinamis. Wahana terbaik dan paling efektif untuk
mengembangkan ketiga proses sosial budaya tersebut adalah pendidikan, yang
terlembaga melalui sistem persekolahan. Sekolah merupakan wahana strategis yang
memungkinkan setiap anak didik, dengan latar belakang sosial budaya yang
beragam, untuk saling berinteraksi di antara sesama, saling menyerap
nilai-nilai budaya yang berlainan, dan beradaptasi sosial. Dapat
dikatakan, sistem persekolahan adalah salah satu pilar penting yang menjadi
riang penyangga sistem sosial yang lebih besar dalam suatu tatanan kehidupan
masyarakat, untuk mewujudkan cita-cita kolektif. Maka, pendidikan yang
diselenggarakan melalui-meskipun tidak hanya terbatas pada-sistem persekolahan
semestinya dimaknai sebagai sebuah strategi kebudayaan (lihat artikel Media
Indonesia, 9/11/2009). Dalam hal ini, pendidikan merupakan medium transformasi
nilai-nilai budaya, penguatan ikatan-ikatan sosial antarwarga masyarakat, dan
pengembangan ilmu pengetahuan untuk mengukuhkan peradaban umat manusia. Paling
kurang ada tiga argumen pokok yang dapat dikemukakan.
Pertama, Melalui
pendidikan kemampuan kognitif dan daya intelektual individu dapat
ditumbuhkembangkan dengan baik. Kemampuan kognitif dan daya intelektual ini sangat
penting bagi individu untuk mengenali dan memahami konsep kebudayaan suatu
masyarakat yang demikian beragam, unik, dan bersifat partikular. Instrumen yang
relevan untuk menumbuhkan apresiasi atas keanekaragaman budaya, antara lain
melalui mata pelajaran ke-susastraan dan kesenian. Sebab, keduanya
merefleksikan dinamika kebudayaan dan menggambarkan kekayaan khazanah budaya
dan aneka jenis kesenian di Nusantara. Di sekolah, semua siswa dapat
mempelajari kesusastraan Melayu, kesusastraan Jawa, atau kesusastraan
Bugis-Makassar. Mereka juga dapat mempelajari kesenian Aceh, kesenian
Minangkabau, atau kesenian Sunda. Dengan mempelajari kesusastraan dan kesenian
lintas etnik dan multikultur itu diharapkan dapat tumbuh kesadaran kolektif
sebagai sesama anak bangsa, meskipun mereka mempunyai latar belakang etnik,
budaya, dan agama yang berbeda, sehingga pada akhirnya akan memperkuat kohesi
sosial dan integrasi nasional.
Kedua, melalui
sistem persekolahan setiap anak dikenalkan sejak dini mengenai pentingnya membangun
tatanan hidup bermasyarakat, yang di dalamnya terdapat berbagai macam entitas
sosial. Sekolah adalah miniatur masyarakat, karena di dalamnya ada struktur,
status, fungsi, peran, norma dan nilai. Sekolah menjadi sarana bagi setiap anak
didik untuk belajar memainkan peran dan menjalankan fungsi menurut posisi dan
status di dalam struktur sekolah itu. Dalam menjalankan peran dan fungsi,
setiap anak didik juga diajarkan mengenai makna tanggung jawab sosial. Dalam
konteks ini,mata pelajaran yang relevan antara lain pendidikan kewargaan (civic
education), karena setiap anak didik dibekali pengetahuan dan pemahaman
bagaimana menjadi warga negara yang baik.
Ketiga,
pendidikan merupakan wahana paling efektif untuk memperkuat integrasi sosial
politik. Para penganut paham struktural-fung-sionalis meyakini bahwa melalui
proses sosialisasi dan enkulturasi, pendidikan memberi kontribusi besar
terhadap upaya merawat stabilitas sosial dan konsensus politik. Di dalam sistem
persekolahan, pendidikan dapat merangsang tumbuhnya kesadaran sosial di
kalangan anak-anak didik, bahwa mereka adalah bagian integral sebagai warga
bangsa dengan latar belakang sosial budaya yang berlainan. Penggunaan bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional merupakan warisan paling berharga dari para
tokoh pergerakan nasional, seperti Boedi Oetomo pada zaman sebelum kemerdekaan.
Karena kesadaran menjaga integrasi sosial politik itulah, maka pada Kongres
Pemuda para pelopor gerakan nasional yang kebanyakan berasal dari suku Jawa,
justru lebih memilih bahasa Indonesia, dan bukan bahasa Jawa, sebagai bahasa
nasional.
Argumen-argumen yang dikemukakan di atas sesungguhnya
sejalan dengan pandangan dan pemikiran para filosof sosial klasik, seperti
Emile Durkheim, Jean-Jacques Rousseau, Johann Pesta-lozzi, atau John Dewey.
Para pemikir klasik itu bahkan menulis khusus mengenai tema-tema penting di
bidang pendidikan, yang kemudian menjadi rujukan standar bagi para pemikir
generasi selanjutnya.
0 Response to "PENDIDIKAN SEBAGAI TRANSFORMASI BUDAYA MELALUI PROSES BELAJAR DENGAN CARA SOSIALISASI DAN ENKULTURASI"
Posting Komentar