BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pancasila adalah jati diri bangsa Indonesia, sebagai
falsafah, ideologi, dan alat pemersatu bangsa Indonesia. Pancasila merupakan
pandangan hidup, dasar negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk.
Mengapa begitu besar pengaruh Pancasila terhadap bangsa dan negara Indonesia?
Kondisi ini dapat terjadi karena perjalanan sejarah dan kompleksitas keberadaan
bangsa Indonesia seperti keragaman suku, agama, bahasa daerah, pulau, adat
istiadat, kebiasaan budaya, serta warna kulit jauh berbeda satu sama lain
tetapi mutlak harus dipersatukan.
Tujuan dan Kegunaan
1. Untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
2. Untuk
mengetahui kaitan antara Pendidikan Pancasila dengan pembentukan karakter
bangsa
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENDIDIKAN
PANCASILA
Pada hakekatnya pendidikan pancasila adalah upaya sadar diri
suatu masyarakat dan pemerintah suatu Negara untuk menjamin kelangsungan hidup
dan kehidupan generasi penerusnya, selaku warga masyarakat, bangsa dan Negara
secara berguna (berkaitan dengan kemampuan spiritual) dan bermakna (berkaitan
dengan kemampuan kognitif dan psikomotorik) serta mampu mengantisipasi hari
depan mereka yang senantiasa berubah dan selalu terkait dengan konteks dinamika
budaya, bangsa, Negara, dan hubungan internasionalnya.
Berdasarkan UU no. 20 tahun 2003, tentang sistem pendidikan
nasional, pasal 2 menyatakan bahwa “ pendidikan Nasional Berdasarkan pancasila
dan UUD 1945 ”.
B. JATI DIRI,
KARAKTER, DAN KEPRIBADIAN
Jati diri adalah ”diri yang sejati/sejatinya diri”. Secara
budaya adalah ”ciri bawaan sejak lahir/merupakan fitrah” yang menunjukkan siapa
sebenarnya diri kita secara ”fisik maupun psikologis”, bersifat bawaan sejak
lahir (gift), serta merupakan sumber dari watak/karakter dan totalitas
kepribadian seseorang.
Karakter adalah ‘distinctive trait, distinctive quality,
moral strength, the pattern of behavior found in an individual or group’. Kamus
Besar Bahasa Indonesia belum memasukkan kata karakter, yang ada adalah kata
‘watak’ yang diartikan sebagai: sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap
pikiran dan tingkah laku; budi pekerti; tabiat. Dalam risalah ini, dipakai
pengertian yang pertama, dalam arti bahwa karakter itu berkaitan dengan
kekuatan moral, berkonotasi ‘positif’, bukan netral. Jadi, ‘orang
berkarakter’ adalah orang punya kualitas moral (tertentu) yang positif.
Dengan demikian, pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti
membangun sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi
moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang buruk.
Peterson dan Seligman, dalam buku ’Character Strength and
Virtue’ [3], mengaitkan secara langsung ’character strength’ dengan
kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang
membangun kebajikan (virtues). Salah satu kriteria utama dari ‘character
strength’ adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan
sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang baik,
yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Dalam kaitannya dengan
kebajikan, Peterson dan Seligman mengidentifikasikan 24 jenis karakter.
Kepribadian, merupakan penampilan (lebih ke psikologis)
seseorang yang terpancar dari karakter. Namun penampilan ini belum tentu
mencerminkan karakter yang bersangkutan, karena dapat saja tertampilkan sangat
bagus tetapi didorong oleh ”kemunafikan”. Dengan demikian untuk mengenal
seseorang secara lengkap diperlukan waktu, karena yang terpancar sebagai
lingkaran terluar adalah kepribadian yang bisa mengecoh, sementara lingkaran
kedua adalah karakter dan lingkaran terdalam adalah jatidirinya.
C. MEMBENTUK KARAKTER
BANGSA LEWAT PENDIDIKAN
Aspek pendidikan adalah aspek terpenting dalam membentuk
karakter bangsa. Dengan mengukur kualitas pendidikan, maka kita dapat melihat
potret bangsa yang sebenarnya, karena aspek pendidikanlah yang menentukan masa
depan seseorang, apakah dia dapat memberikan suatu yang membanggakan bagi
bangsa dan dapat mengembalikan jati diri bangsa atau sebaliknya.
Pendidikan seperti apa yang diberikan agar anak didik memiliki karakter bangsa
dan mampu mengembalikan jati diri bangsa dan mampu membentuk elemen-elemen
dalam core values? Apakah masalah yang terdapat dalam otoritas pelaksana
pendidikan di bangsa ini? Setidaknya ada empat faktor utama yang harus
diperhatikan: faktor kurikulum, dana yang tersedia untuk pendidikan, faktor
kelaikan tenaga pendidik, dan faktor lingkungan yang mendukung bagi
penyelenggaraan pendidikan. Keempat faktor ini terkait satu sama lain untuk
dapat menghasilkan SDM dengan karakter nasional yang mampu bersaing di era
global, yang akhirnya dapat mengembalikan jati diri bangsa.
Pada masalah aspek otoritas pendidikan, anak didik
sebetulnya hanya ditekankan pada sapek kognitif saja. Akibatnya adalah anak
didik yang diberi materi pelajaran hanya sekedar ‘tahu’ dan ‘mengenal’ dengan
apa yang didapatkannya, tanpa memahami apa yang mereka pelajari apalagi
menerapkannya pada kehidupan sehari-hari. Padahal aspek yang lainnya, seperti
afektif dan psikomotorik adalah hal penting yang harus didik. Karena institusi
pendidikan seharusnya dapat membuat anak didik menerapkan apa yang diajari,
karena sesungguhnya itulah kegunaan dari ilmu pengetahuan. Apakah anak didik di
bangsa ini hanya akan menjadi ‘manusia robot’ yang tidak memiliki rasa
toleransi dan apatis pada kehidupan sosialnya? Lalu bagaimana generasi seperti
ini dapat mengembalikan jati diri bangsa?
Kita tidak tahu standar apa yang dipakai dalam otoritas
pendidikan di negara ini, yang akhirnya anak didik yang dihasilkan dari
institusi pendidikan di negara ini tidak banyak yang mampu untuk menerapkan
ilmu dan pengetahuan yang mereka dapatkan di tempat pendidikannya, apalagi
untuk mengajarkannya pada orang lain. Penanaman karakter anak didik dengan
mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik tidak akan berhasil menghasilkan
generasi penerus yang memberikan dampak positif bagi bangsa. Mungkin memang
nilai di atas kertas raport dan IPK terlihat bagus dan memuaskan, akan tetapi
ketika anak didik tidak mampu menerapkan ilmu yang mereka dapatkan apa gunanya
ilmu yang mereka punya? Otoritas pendidikan harus menerapkan aspek-aspek pendidikan
yang ditetapkan oleh lembaga pendidikan PBB, UNESCO, yaitu belajar untuk tahu
(learn to know), belajar untuk berbuat (learn to do), belajar untuk menjadi
diri sendiri (learn to be her/himself), belajar untuk hidup bersama (learn to
live together). Ketika semua aspek itu dapat dijalankan maka bangsa ini akan
memiliki generasi yang dapat dibanggakan, bagi bangsa maupun bagi seluruh
dunia. Pendidikan bukan hanya transfer ilmu tanpa aktualisasi ilmu, akan tetapi
pembentukan karakter diri dan bangsa dengan ilmu yang didapat, hingga akhirnya
mereka para generasi muda dapat mengembalikan jati diri bangsa dengan ilmu yang
mereka punya.
Banyaknya faktor atau media yang mempengaruhi pembentukan
karakter ini menyebabkan pendidikan untuk pengembangan karakter bukan sebuah
usaha yang mudah. Secara normatif, pembentukan atau pengembangan karakter yang
baik memerlukan kualitas lingkungan yang baik juga. Dari sekian banyak
Faktor atau media yang berperan dalam pembentukan karakter, dalam risalah ini
akan dilihat peran tiga media yang saya yakini sangat besar pengaruhnya yaitu:
keluarga, media masa, lingkungan sosial, dan pendidikan formal.
Keluarga adalah komunitas pertama di mana
manusia, sejak usia dini, belajar konsep baik dan
buruk, pantas dan tidak
pantas, benar dan salah. Dengan kata lain, di keluargalah seseorang,
sejak dia sadar lingkungan, belajar tata-nilai atau moral. Karena tata-nilai
yang diyakini seseorang akan tercermin dalam karakternya, maka di keluargalah
proses pendidikan karakter berawal. Pendidikan di keluarga ini akan menentukan
seberapa jauh seorang anak dalam prosesnya menjadi orang yang lebih dewasa,
memiliki komitmen terhadap nilai moral tertentu seperti kejujuran,
kedermawanan, kesedehanaan, dan menentukan bagaimana dia melihat dunia
sekitarnya, seperti memandang orang lain yang tidak sama dengan dia –berbeda
status sosial, berbeda suku, berbeda agama, berbeda ras, berbeda latar belakang
budaya. Di keluarga juga seseorang mengembangkan konsep awal mengenai
keberhasilan dalam hidup ini atau pandangan mengenai apa yang dimaksud dengan
hidup yang berhasil, dan wawasan
mengenai masa depan.
mengenai masa depan.
Dari sudut pandang pentingnya keluarga sebagai basis
pendidikan karakter, maka tidak salah kalau krisis karakter yang terjadi di
Indonesia sekarang ini bisa dilihat sebagai salah satu cerminan gagalnya
pendidikan di keluarga. Korupsi misalnya, bisa dilihat sebagai kegagalan
pendidikan untuk menanamkan dan menguatkan nilai kejujuran dalam keluarga.
Orang tua yang membangun kehidupannya di atas tindakan yang korup, akan sangat
sulit menanamkan nilai kejujuran pada anak-anaknya. Mereka mungkin tidak
menyuruh anaknya agar menjadi orang yang tidak jujur, namun mereka cenderung
tidak akan melihat sikap dan perilaku jujur dalam kehidupan sebagai salah satu
nilai yang sangat penting yang harus dipertahankan mati-matian. Ini mungkin
bisa dijadikan satu penjelasan mengapa korupsi di Indonesia mengalami alih
generasi. Ada pewarisan sikap permisif terhadap korupsi dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
Media masa. Dalam era kemajuan teknologi informasi
dan telekomunikasi sekarang ini, salah satu faktor yang berpengaruh sangat
besar dalam pembangunan atau sebaliknya juga perusakan karakter
masyarakat atau bangsa adalah media massa, khususnya media elektronik,
dengan pelaku utamanya adalah televisi. Sebenarnya besarnya peran media,
khususnya media cetak dan radio, dalam pembangunan karakter bangsa telah dibuktikan
secara nyata oleh para pejuang kemerdekaan. Bung Karno, Bung Hattta, Ki Hajar
Dewantoro, melakukan pendidikan bangsa untuk menguatkan karakter bangsa melalui
tulisan-tulisan di surat kabar waktu itu. Bung Karno dan Bung Tomo mengobarkan
semangat perjuangan, keberanian dan persatuan melalui radio. Mereka, dalam
keterbatasannya, memanfaatkan secara cerdas dan arif teknologi yang ada pada
saat itu untuk membangun karakter bangsa, terutama sekali: kepercayaan diri
bangsa, keberanian, kesediaaan berkorban, dan rasa persatuan. Sayangnya
kecerdasan dan kearifan yang telah ditunjukkan generasi pejuang kemerdekaan
dalam memanfaatkan media massa untuk kepentingan bangsa makin sulit kita
temukan sekarang. Media massa sekarang memakai teknologi yang makin lama makin
canggih. Namun tanpa kecerdasan dan kearifan, media massa yang didukung
teknologi canggih tersebut justru akan melemahkan atau merusak karakter bangsa.
Saya tidak ragu mengatakan, media elektronik di Indonesia , khususnya televisi,
sekarang ini kontribusinya ’nihil’ dalam pembangunan karakter bangsa. Saya
tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa tidak ada program televisi yang baik.
Namun sebagian besar program televisi justru lebih menonjolkan karakter buruk
daripada karakter baik. Sering kali pengaruh lingkungan keluarga yang baik
justru dirusak oleh siaran media televisi. Di keluarga, anak-anak dididik untuk
menghindari kekerasan, namun acara TV justru penuh dengan adegan kekerasan. Di
rumah, anak-anak dididik untuk hidup sederhana, namun acara sinetron di tevisi
Indonesia justru memamerkan kemewahan. Di rumah anak-anak dididik untuk
hidup jujur, namun tayangan di televisi Indonesia justru secara tidak langsung
menunjukkan ’kepahlawanan’ tokoh-tokoh yang justru di mata publik di anggap
’kaisar’ atau ’pangeran-pangeran’ koruptor. Para guru agama mengajarkan bahwa
membicarakan keburukan orang lain dan bergosip itu tidak baik, namun acara
televisi, khususnya infotainment, penuh dengan gosip. Bapak dan ibu guru di
sekolah mendidik para murid untuk berperilaku santun, namun suasana sekolah di
sinetron Indonesia banyak menonjolkan perilaku yang justru tidak santun dan
melecehkan guru. Secara umum, banyak tayangan di televisi Indonesia, justru
’membongkar’ anjuran berperilaku baik yang ditanamkan di di rumah oleh orang
tua dan oleh para guru di sekolah.
Pendidikan formal. Pendidikan formal,
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, diharapkan berperan besar dalam
pembangunan karakter. Lembaga-lembaga pendidikan formal diharapkan dapat
mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun demikian pengalaman Indonesia selama empat
dekade terakhir ini menunjukkan bahwa sekolah-sekolah dan perguruan tinggi
dengan cara-cara pendidikan yang dilakukannya sekarang belum banyak
berkontribusi dalam hal ini. Di atas telah diuraikan, kecenderungan lembaga
pendidikan formal yang merosot hanya menjadi lembaga-lembaga pelatihan adalah
salah satu sumber penyebabnya. Pelatihan memusatkan perhatian pada pengembangan
keterampilan dan pengalihan pengetahuan. Sedangkan pendidikan mencakup bahkan
mengutamakan pengembangan jati diri atau karakter, tidak terbatas hanya pada
pengalihan pengetahuan atau mengajarkan keterampilan. Harus diakui bahwa
pendidikan formal di sekolah-sekolah di Indonesia, dari sekolah dasar sampai
perguruan tinggi, secara umum menghabiskan bagian terbesar waktunya untuk
melakukan pelatihan daripada pendidikan. Kegiatan pendidikan telah teredusir
menjadi kegiatan ’mengisi’ otak para siswa sebanyak-banyaknya, dan kurang
perhatian pada perkembangan ’hati’ mereka. Keberhasilan seorang guru diukur
dari kecepatannya ’mengisi’ otak para siswanya. Sekolah menjadi ’pabrik’ untuk
menghasilkan orang-orang yang terlatih, namun belum tentu terdidik.
Namun demikian, ini tidak berarti bahwa secara praktek
pendidikan sama sekali terpisah dari pelatihan. Dalam pendidikan dikembangkan
juga berbagai keterampilan. Namun pengembangan keterampilan saja tidak dengan
sendirinya berarti pendidikan, walaupun hal itu dilakukan pada lembaga yang
secara resmi diberi nama lembaga pendidikan, seperti universitas, institut
teknologi, dan yang lainnya.
Oleh karena itu, pembangunan Indonesia harus mengarah kepada
kesempurnaan manusia dan harus dapat memanusiakan manusia, bukan membangun
secara fisiknya saja tetapi juga harus berdampak pada kualitas manusia dan
merubah peradaban manusianya maka bumi Indonesia menjadi layak sebagai tempat
tinggal manusia (surga dunia), bukan tempat bagi manusia jadi-jadian.
Pada saat ini pembangunan fisik, teknologi, dan ilmu
pengetahuan di dunia telah maju pesat, tetapi kondisi manusia menjadi jauh
sekali dari kondisi manusia yang sempurna kemanusiaanya. Kita sekarang menjadi
robot-robot hidup yang penuh dengan ketakutan-ketakutan yang diakibatkan oleh
penemuan manusia itu sendiri, tidak mengarah kepada kedamaian dan ketenangan
yang dibutuhkan dan diinginkan oleh manusia yang sudah sadar. Mereka tidak tahu
arah hidupnya, mereka menjadi budak-budak konsumsi dari apa yang mereka
ciptakan sendiri, yang akhirnya hati mereka mati. Mereka terlalu mempertuhankan
apa yang mereka ciptakan, mereka terlalu diperbudak oleh otak kiri (akalnya)
mereka. Mereka tidak mempergunakan kemampuan otaknya secara sempurna, yaitu
menggunakan otak kiri, otak kanan dan bawah sadar, serta kekuatan hati nurani.
Karena kebimbangan serta stress yang berkepanjangan, mereka tidak
dapat menemukan jati dirinya. Diri mereka selalu dihubungkan dan dilekatkan
dengan dunia luar. Semua yang ada di luar dirinya menjadi melekat dan
memperbudak mereka, mereka menjadi budak dan terpenjara selama-lamanya
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendidikan Pancasila sangat bermanpaat dalam membangun
karakter bangsa karena dengan mempelajari pendidikan pancasila dapat
menimbulkan kesadaran dalam diri manusia itu sendiri, karena sesungguhnya
pembangunan Indonesia harus mengarah kepada kesempurnaan manusia dan harus
dapat memanusiakan manusia, bukan membangun secara fisiknya saja tetapi juga
harus berdampak pada kualitas manusia dan merubah peradaban manusianya maka
bumi Indonesia menjadi layak sebagai tempat tinggal manusia (surga dunia),
bukan tempat bagi manusia jadi-jadian.
0 Response to "MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TENTANG MANFAAT PENDIDIKAN PANCASILA DENGAN PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA"
Posting Komentar